Kamis, Agustus 06, 2009

Mari Mengembangkan Khazanah Sastra

Selasa kemarin tanggal 4 Agustus 2009, merupakan hari berkabungnya dunia sesni sastra Indonesia. Ya seorang yang bernama Mbah Surip telah dipanggil kembali menghadap penciptanya. Karya seni dan sastranya begitu fenomenal menginjak di usianya yang senja, kemana-mana ia menjadi bintang tamu, dengan gaya hidupnya yang kurang teratur ditambah jadwal kegiatan yang super padat, kesehatannya mulai terganggu, puncaknya terjadi pada tanggal 4 Agustus 2009 tersebut, Mbah Surip menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah salah seorang sahabatnya Mamih Prakoso.

Sebenarnya tulisan ini berkesinambungan dengan tulisan saya sebelumnya yang sudah diposting di Kompasiana ini yaitu “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Duni Pendidikan dan Media”, info lebih lanjut dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/ Namun karena kematian Mbah Surip begitu fenomenal, maka tidak ada salahnya saya mengemukakannya terlebih dahulu di atas sebagai wujud keberdukaan saya atas kematian beliau. Dan karya seni juga sastra beliau pantas untuk kita kembangkan bersama.

Dewasa ini, ilmu sastra atau lazimnya kita menyebutnya sebagai kesusastraan Indonesia, mengalami beberapa perkembangan, namun masih kurang dari apa yang kita harapkan. Salah satu ke-tidak optimalan perkembangan ilmu sastra ini, beberapa diantaranya ; Pertama, kurang berhasilnya pihak perguruan tinggi yang menyelenggarakan fakultas bahasa dan sastra Indonesia (pendidikan maupun non pendidikan) dalam mencetak kader guru yang sastrawan yang menuntut lebih dari sekedar seorang guru biasa saja. Kedua, dukungan yang minim dari media massa, baik media kabel ataupun media cetak yang lainnya. Sehingga dari beberapa contoh tersebut di atas, sangat jelas dampaknya bagi dunia pendidikan di sekolah menengah (SMP/SMU), yang mana biasanya dari sinilah awal dimulainya kecintaan seseorang terhadap kesusastraan, melalui menulis puisi, mengarang cerpen atau novel, karangan sastra lainnya, sampai kepada hal membuat sebuah atau beberapa bahkan banyak mengenai esai kritik sastra.

Mungkin sudah waktunyalah kita berpikir, mendiskusikan cara-cara apa saja, sehingga sastra dapat berkembang dengan pesat seperti bidang keilmuan lainnya. Tak salah apabila kita merancang sesuatu kebijakan strategi pemasaran, selayaknya terbiasa orang melakukan kebijakan strategi pemasaran untuk menjajakan produksinya, baik berupa barang maupun jasa.

Hal ini memang acap kali kita pergunakan dalam dunia bisnis dan kepentingan usaha yang lainnya. Dan nampaknya kita sekarang perlu menerapkan teori tersebut dalam usaha memasyarakatkan sastra guna mendapatkan dan menciptakan apresiasi yang positif dari publik terhadap khazanah kesusastraan Indonesia.

Menurut J David L Wheelen, strategi manejemen adalah seperangkat keputusan dan tindakan yang menjadi arah jangka panjang jalannya perusahaan. Pendapat lain mengatakan, yang munculnya dari seseorang yang bernama Fred R David, strategi manajemen merupakan seni dan ilmu membuat keputusan tentang formulasi, implementasi, dan evaluasi yang saling melengkapi yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya.

Saya pikir teori-teori di atas dapat dikembangkan untuk memajukan kehidupan sastra pada umumnya. Sebagai contoh dari definisi di atas kita tarik strategi formulasi. Di strategi ini termasuk di dalamnya juga mengembangkan misi, identifikasi peluang-peluang dan ancaman, kekutan dan kelemahan untuk jangka panjang.

Dalam mempopulerkan sastra tak terlepas di dalamnya juga untuk mengembangkan misi, yang mungkin salah satunya adalah menanamkan kecintaan siswa terhadap sastra, karena baru setelah itu kita berharap akan terlahir suatu karya dan kreatifitas yang dapat membangun dan membanggakan bangsa. Dalam kebijakan pemasaran kita juga akan dikenalkan dengan konsep marketing yang menyatakan bahwa produsen jangan memperhatikan diri sendiri saja, jangan melihat selera sendiri saja. Tapi lihatlah, carilah apa dan bagaimana selera konsumen. Konsep ini lebih menekankan kepada kepuasan konsumen, karena marketing mempunyai tujuan tersendiri yaitu bagaimana usaha untuk memuaskan selera.

Untuk menyelaraskan konsep-konsep pemasaran dengan kehidupan sastra tentunya diperlukan penyesuaian-penyesuaian, hingga mengecilkan benturan-benturan antara keduanya. Karya sastra sebaiknya digarap sesuai dengan perkembangan zamannya, mengikuti selera pasar yang kekinian dengan tidak meninggalkan ciri khasnya sebagai sesuatu yang terlahir dari penciptaan sastra yang murni sebagai karya yang terus berdaya guna dan tak mudah kadaluarsa.

Sebenarnya telah cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh para kalangan sastrawan, untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan sastra. Salah satu perwujudannya adalah yang telah dilakukan para sastrawan dari majalah “Horison” melalui kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya)-nya, yang mendatangi sekolah-sekolah menengah umum (SMU) di setiap penjuru negeri (meski tak semua sekolah favorit di Indonesia mendapatkan kunjungan mereka).

Ini merupakan satu bentuk pemasaran yang tepat untuk menggali minat para siswa kepada kesusastraan Indonesia. Sudah banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut, di antaranya para siswa banyak tertarik membaca karya-karya sastra dan belajar mengimplementasikannya melalui tulisan-tulisan sastranya, melalui bentuk puisi, cerpen, novel, prosa, drama, dsb, yang banyak pula di antaranya kemudian dikirimkan ke majalah “Horison” tersebut dan majalah juga surat kabar lainnya.

Kita perlu menyadari minimnya kurikulum nasional khususnya bidang sastra, baik di perguruan tinggi yang membuka fakultas bahasa dan sastra Indonesia (pendidikan maupun non pendidikan) maupun di sekolah menengah umum (SMU). Kita wajib mengetahui bahwa mata kuliah sastra sekarang baru mencapai 22 sks dan bahasa 41 sks. Bahkan dalam kurikulum nasional sama sekali tidak ada mata kuliah kritik sastra yang tentunya penting jika diadakan untuk mengetahui seluk beluk dan sejauh mana perkembangan kritik atau kajian sastra.

Sedangkan di sekolah menengah (SMP/SMU) nyaris sama keberadaanya dengan perguruan tinggi kita. Dalam kurikulum GBPP 1994 di sekolah menengah umum (SMU) hanya berjumlah 32 butir dari total 168 butir pembelajaran atau hanya berkisar 19%. Dalam kebijakan kurikulum berbasis kompetisi (KBK) pun tidak mengalami perubahan yang signifikan, jika dibandingkan dengan kurikulum GBPP tahun 1994.

Mendapati realitas pendidikan sastra yang riskan tersebut, nampaknya kita tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bersegera menjalankan berbagai kebijakan pemasaran, khususnya menyangkut jasa pendidikan sastra. Pemasaran pendidikan sastra diharapkan dapat mengenal sastra yang tepat, mengakar, dan mendarah daging dalam jiwa siswa-siswa.

Menurut Hermawan Kertajaya, strategi pemasaran adalah “sebuah cara-cara disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan values dari suatu inisiator kepada stake holdersnya”. Misi yang terkandung dari pendapat itu ialah pemasaran akan menjadi jiwa, bukan sekedar salah satu anggota atau bagian saja.

Sebagai sikap yang bijak dalam mengejawantahkan pendapat Hermawan Kertajaya tersebut adalah sebagai sastrawan kita tak perlu sungkan-sungkan lagi untuk menawarkan diri menjadi seorang guru atau dosen di semua institusi sekolah yang berembel-embel badan hukum milik negara (BHMN) atau institusi milik “pengusaha” demi untuk memajukan kehidupan sastra. Sebab maju mundurnya khazanah sastra sangat bergantung pada kepedulian para sastrawan-sastrawannya sendiri. Dengan mendapatkan pengajaran sastra yang secara langsung diberikan oleh para guru atau dosen yang sastrawan, maka besar kemungkinan para siswa atau mahasiswa dapat mengapresiasikan sastra menjadi lebih positif yang dibalut dengan kreatifitas yang berdaya guna dan bermanfaat.

Tentunya hal-hal ini kurang lengkap apabila tidak ditanggapi oleh organisasi-organisasi yang menamakan dirinya sebagai dewan kesenian (DK) dari semua daerah. Tak disangkal kita juga membutuhkan dukungan yang sangat besar dari dewan kesenian ini, sebagai suatu wadah yang menampung berbagai kreatifitas dan mengembangkannya dalam bentuk apresiasi seni sastra di panggung-panggung, dalam forum diskusi, dialog interaktif atau apapun nama kegiatannya.

Sebagai penyempurna dari semua kegiatan kebijakan strategi pemasaran yang telah sedikit diungkap sebelumnya, seperti sastrawan “Horison” mengadakan kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), para sastrawan menawarkan dirinya untuk menjadi seorang guru atau dosen meski persoalannya tak segampang membalikkan telapak tangan, karena sekolah atau perguruan tinggi mana yang sudi merekrut guru atau dosen dari kalangan sastrawan, tapi setidaknya sebagai sastrawan yang sudah cebur lebur dalam jalanan khazanah sastra seyogyanya mampu menunjukkan kapabilitasnya menjadi guru atau dosen yang baik serta berkompeten.

Dewan kesenian yang akif mendukung dan terjun langsung ke masyarakatnya. Liputan dari semua media akan sangat membangun kekokohan sastra ini. Sebagai ungkapa terdalam, selayaknya media masa turut membuka ruang yang lebih luas dan banyak lagi untuk kemaslahatan kesusastraan Indonesia khususnya dan khazanah sastra dunia pada umunya. MUNGKIN…

Tidak ada komentar: