Jumat, Agustus 07, 2009

Fenomena Kritik Sastra

Kembali saya ingin melanjutkan tulisan saya yang sebelumnya “Mengembangkan Khazanah Sastra” beritanya dapat dilihat di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/ tulisan ini pula terangkai dengan postingan sebelumnya juga yaitu “minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media” infonya juga dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/ sengaja dalam beberapa tulisan saya, akhir-akhir ini lebih banyak mengetengahkan sastra, mengingat banyaknya para Seniman dan Sastrawan kita yang mulai satu-persatu mendahului kita semua menghadap yang kuasa. Terakhir ini adalah Mbah Surip yang meninggal pada tanggal 4 Agustus 2009, disusul dua hari kemudian WS Rendra, sang seniman dan sastrawan besar kita. Dunia seni dan sastra Indonesia sangat berkehilangan keduanya, yang sungguh fenomenal dalam dunia seni sastra. Namun demikian saya tidak bermaksud mengulas kedua biografi beliau, mungkin teman-teman Kompasiana yang yang lain saja yang mengulasnya, biarkan saya mengulas bagian kritik sastanya saja. OK?...

Kita sering menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam keseharian yang terus menerus beredar, mengalir, mengucur dan menggelosot begitu renyahnya menghujani sekeliling kita. Mungkin itu adalah sebuah atau bahkan itu sesuatu kegilaan yang disengaja atau juga ruang lingkup yang tak sanggup untuk dipungkiri.

Semua hal ikhwal kejadian yang berlangsung demikian, bisa saja merupakan proses dari sebuah khasanah tuntutan dari para pelaku kehidupan itu sendiri. Ialah sesuatu yang wajar apabila banyak bermunculan pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, gagasan-gagasan atau meluncur begitu saja selentingan-selentingan disertai sindiran-sindiran nyinyir, karena memang untuk menilai sebagian (jika tak bisa secara keseluruhan) problematika dalam tatanan sosial, kita tidak harus memandangnya hanya dari sudut tertentu.

Kebebasan dalam menggugat realita yang ada, tidak bisa dibatasi oleh koneksitas serta pemikiran yang telah terkontaminasi pihak-pihak yang sengaja mempolitisi bagian-bagian koneksi tersebut. Beragam kenyataan tak terkadang (sering) menghampiri sebuah keberadaan sebuah imaji yang pernah kita cetuskan ke permukaan massa, dan tak tanggung-tanggung lagi komentar sedemikian mampu menggairahkan langkah kita untuk terus menapaki karya yang telah kita lemparkan sebelumnya, ini tak terlepas karena gagasan / karya yang pernah terhamparkan memperoleh apresiasi positif dari audien. Akan tetapi hal yang getir pun tidak senantiasa dapat kita elakkan, sekiranya suguhan gagasan / karya kita direspon negative oleh kebanyakan khalayak. Namun demikian apresiasi positif maupun negative pada hakikatnya merupakan media pembelajaran yang sangat efektif untuk terus mengasah sudut pandang kita agar kita lebih berwawasan dan dewasa.

Kini saatnya kita harus kembali berani memiliki keberagaman akan keberadaan karya-karya sastra yang sudah lanjur terjuntai-menjuntai dalam gugusan masyarakat. Tentunya dalam berhadapan dengan masyarakat, tugas karya sastra yaitu untuk mempertanyakan kembali sejumlah peristiwa yang terjadi pada manusia dengan keadaannya sebagai satu kesaksian dari setiap dan pandangan seorang pencetus karya sastra.

Sebuah karya sastra bukanlah kebenaran yang tunggal, pun dalam lingkungan masyarakat yang sebenarnya. Oleh karena itulah karya sastra tidaklah perlu dipaksakan sebagai sumber moral semata, ataupun hakikat dari sebuah mausul kebenaran yang semestinya.

Kiranya mesti dipahami, sebuah karya sastra hanyalah salah satu versi, sebuah sudut pandang terhadap kompleksitas permasalahan di medan hiruk-pikuknya versi-versi yang lain. Setelah kita memafhumi segala bentuk tutur di atas, bisa diperoleh asumsi, bahwa “kebenaran dalam karya sastra merupakan kebenaran yang bersifat sementara”, yang masih mungkin ditandingi oleh versi / cara dan sudut pandang yang lebih kritis, lebih menarik dan juga lebih menantang untuk disikapi lebih bijak lagi.

Kritik, yang bisa saja dituangkan melalui karya sastra, seperti cerpen, prosa, novel, puisi, esai kritik sastra dan apapun bentuknya, tentunya cara-cara itu dijadikan sebagai wahana untuk menggugat apa yang sedang terjadi, berlangsung mengalir di masyarakat. Akan tetapi bukan benar atau salahnya posisi gugatan tersebut yang terpenting, melainkan peranan gugatan itu mampu mewarnai atau tidak sama sekali, dalam mengubah paradigma kehidupan manusia dengan sesegera mungkin. Koreksi dalam karya sastra lebih pada pandangan yang sebagaimana dituliskan pada paragraph sebelumnya, yaitu untuk mempertanyakan kembali hal ikhwal yang dirasakan sudah sedemikian mapannya dalam nuansa kehidupan di masyarakat.

Dengan bentuk lain, kritik sastra merupakan tandingan dalam menyaksikan fenomena yang terjadi dari sudut (bagian kecil) yang mungkin terjadi atau yang semestinya sebaiknya terjadi. Kita pun boleh mendefinisikan bahwasannya karya sastra sebagai suatu alternative penyeimbang atas peristiwa-peristiwa yang begitu lancarnya terjadi di lingkungan sekitar kita, semisal dalam kehidupan sehari-hari.

Kitaran kritik sastra tak terbatas pada satu jenis kritik sastra saja, apabila digolongkan dalam garis besarnya, mungkin ada, kritik akademis dan kritik non akademis. Sebagaimana yang dilontarkan Edward W Said, yang selanjutnya dikutip oleh Sapardi Djoko Damono dalam “Perkembangan Kritik Sastra Indonesia”, menyatakan kritik sastra non akademis mengambil bentuk kritik sastra umum / praktis (practical critism). Berdasarkan teori dan konsep Edwar W Said tersebut, Sapardi Djoko Damono menyimpulkan bahwa kritik akademis termasuk dalam jenis kritik apresiasi dan interpretasi (literary appreciation and interpretation).

Seangkan, masih menurut Sapardi Djoko Damono, kritik sastra Indonesia justru dimulai dari jenis kritik sastra umum. Kritik di majalah pujangga baru pada kisaran tahun 30-an, ulasan-ulasan sastra di Koran-koran peranakan tionghoa, bahkan sebagian besar tulisan HB. Jassin pada dasarnya termasuk dalam jenis kritik umum (non akademis) ini. Begitupun resensi-resensi yang masih terus muncul di Koran-koran, majalah-majalah sampai saat ini hingga termasuk juga termuat di dalamnya tulisan-tulisan Korie Layun Rampan dan Djoko Sumardjo. (Sapardi Djoko Damono, “Politik Ideologi dan Sastra Hibrida”, tahun 1999, Pusaka Firdaus).

Kecarut-marutan dunia kritik sastra Indonesia, bermula dari ter”bonsai”nya (jika tidak mau dikatakan gagal) media pembelajaran sastra dalam institusi pendidikan sastra di perguruan tinggi yang seyogyanya dapat menelurkan guru-guru bahasa dan sastra Indonesia untuk sekolah menengah (SMP/SMA) yang berkompeten dan berwibawa. Lebih lanjut lihat “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidian dan Media”. Apabila dilihat sepintas keberadaan kritik sastra yang terdapat disejumlah Koran-koran, majalah-majalah, dan media umum lainnya, perbedaan kritik akademis dan non akademis tidaklah begitu gampang (gamblang) mencari batasan-batasannya. Hanya saja mungkin kita bisa melihat batasannya dari tampilan fisik yang ada, sebagaimana terlihat pada penulisan skripsi, thesis, disertasi (yang biasanya jenis kritik akademis ini dibukukan oleh penulisnya sendiri)

Dari perbandingan tersebut di atas, maka bisa ditarik garis perbedaan kritik akademis dengan tulisan-tulisan yang ada di Koran-koran, majalah sastra, media seni budaya. Bahkan jika sudi menelusuri lebih jauh makalah-makalah seminar yang dirangkum para kritikus sastra non akademis, yang menggunakan cara-cara yang sedikit berseberangan dari tata kerja akademis.

Keterangan yang termaktub di atas tentunya belum cukup memadai, karena sebagaimana disitir Aspanti Djoko Sujatno, bahwasanya metode kritik sastra tidaklah harus tersurat (semisal dalam kritik jurnalistik). Namun demikian, mungkin kita akan bersegera merasakan suatu cara dan sudut pandang atau sikap tertentu dari pihak kritikusnya. Dalam kesempatan yang lain Aspanti Djoko Sujatno, memaparkan ragam kritik, dimulai dari kritik panjang yang umumnya terang dalam bentuk buku, kritik sastra oral di radio-radio dan media kabel lainnya, dalam bentuk artikel juga mungkin sebentuk roman drama teater atau surat. Untuk lebih jelasnya baca, Aspanti Djoko Sujatno “Membandingkan Kritik Sastra Perancis dengan Kritik Sastra Indonesia” (Horison, Desember 1998 Hal. 6-10).

Kalau terus membicarakan bahasa mengenai kritik sastra Indonesia, maka takkan segampang membaca sebuah puisi atau karangan sastra lainnya, karena kritik sastra akan terus berkembang, meluas, sesuai dengan kebutuhan jaman, situasi dan kondisinya. Dan diyakini pula hal itu akan melahirkan jenis-jenis kritik sastra lainnya yang lebih mengusung keberanian nurani sastrawan. Mari kita cermati penelitian (disertasi) yang pada akhirnya dibukukan yaitu “Kritik Sastra Indonesia Modern”, karya Rahmat Djoko Pradopo, tahun 2002. Di situ akan diperoleh sebuah bukti terbaru bahwasanya sedikit banyaknya kritik non akademis pun tidak bisa terlepas dari suatu sikap atau teori yang didapat dimengerti yang lalu dipahami oleh kritikusnya sendiri.

Kecenderungan mengkritisi satu karya sastra dari sudut pandang pengarang sebagaimana tersimak di tahun 30-an, bahkan hingga terus berlangsung sampai 60-an pada konsepnya bisa digabungkan dan digolongkan dalam kategori jenis kritik sastra dengan teori dan pendekatan ekspresif. Untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya instuisi dalam membuat, mencipta, mencetuskan, mengimajikan, menggagas, dan apapun itu namanya, menggurat sebuah karya sastra penting bagi kita mencermati karya-karya kesusastraan di masa lampau, mungkin belajar dari sejarahnya, mengupasi teorinya, hingga kita menikmati karya-karya sastra modern sekarang ini.

Sejenak luangkanlah waktu untuk membaca tulisan-tulisan sastrawan dan kritikus Lekra yang memaksimalkan konsep dan teori dengan pendekatan pragmatik, yang telah disiratkan MH. Abrams dalam sebuah bukunya “The Mirror and The Lamp” tahun 1953 (Cornel University).

Karena berbagai permasalahn dalam kompleksitasnya dan yang mencuat atau yang sedang menggejala dalam tatanan kehidupan lingkungan masyarakat bisa diangkat oleh siapa saja, maka cara dan sudut pandang dalam menggarap permasalahan akan menjadi suatu perkara yang penting untuk dijadikan sebagai tolok ukur atau tema di dalam penulisan sebuah karya sastra, sebab hal tersebut pastinnya akan menentukan berhasil tidaknya karya sastra yang dimaksud. Begitu banyaknya atau ragamnya cara dan sudut pandang para sastrawan dalam menanggapi suatu persoalan yang sedang mengemuka di industri sastra dan masyarakat pada umumnya, kita pun perlu berpartisipasi banyak di dalamnya.

Jadi, pada dasarnya permasalahan bebas-bebas saja diintip dari berbagai segi manapun, beberapa mungkin di antaranya dengan cara menertawakan, menyindir, menghiba, atau selebihnya dengan cara mengancam nyinyir seanyir ciuman janji politisi busuk!!!....Bersambung…

Tidak ada komentar: