Selasa, Juli 28, 2009

Bumi Semakin Berasap Tebal

Rupanya kebiasan menghisap rokok menjadi hal tak terbantahkan yang terjadi di kalangan masyarakt umum, dari yang masih bersekolah sampai yang sudah lulus SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi bahkan yang tidak pernah bersekolah, rokok merupakan teman sejati bagi para pecandu rokok. Dari usia yang relatif belia sampai yang tua bangka rokok tetap menjadi idola, layaknya memilih Indonesia Idol, mereka berlomba-lomba dengan merek rokok yang “keren”, sesuai dengan tampilan iklannya.

Kalau ditilik permasalahannya rokok akan membawa dampak negatif luar biasa apabila dibandingkan dengan sisi positifnya, akan tetapi sepertinya para perokok lebih rela menikmati hal yang negatif daripada mendapatkan manfaat positif yang lebih banyak dari menghilangkan kebiasaan merokok.

Sebagai salah satu contoh, saya coba ambil kebiasaan masyarakat bogor dalam hal perbandingan belanja rokok dan biaya lainnya. Misalkan dibandingkan dengan biaya pendikan dan pembelian susu untuk anak-anaknya sendiri, bisa dipastikan biaya untuk membeli rokok dalam kesehariannya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk biaya pendidikan dan susu untuk perbaikan gizi anak-anak mereka sendiri.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor dr. Triwandha Elan menyatakan keprihatinannya bahwa biaya belanja untuk kebutuhan rokok masyarakat daerah itu justru lebih tinggi ketimbang untuk kesehatan dan pendidikan.

Berdasarkan data Susenas (Survei Sensus Nasional), belanja rokok dan alkohol di Kota Bogor melebihi belanja untuk kesehatan dan pendidikan. Biaya untuk belanja rokok dan alkohol mencapai 6,9 persen, sedangkan belanja untuk pendidikan 6,4 persen dan kesehatan hanya 2 persen.

Sementara pengeluaran belanja rokok KK (kepala keluarga) miskin dari jumlah 41.349 KK miskin per tahunnya lebih dari Rp20 miliar. Juga berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kota Bogor tahun 2007, jumlah perokok di Kota Bogor mencapai 29,6 persen dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari 8,89 persen.

Sedangkan berdasarkan hasil Surkesda (Survei Kesehatan Daerah) tahun 2004, dari hasil Surkesda disebutkan bahwa jumlah perokok laki-laki di rumah tangga mencapai 57 persen, sedangkan perokok wanita 47 persen di rumah tangga di Kota Bogor. Populasi jumlah penduduk di Kota Bogor berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 905.132 jiwa atau hampir 1 juta jiwa. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang lebih serius lagi unsur pemerintah dan masyarakat maka “asap di kota Bogor mungkin akan lebih tebal.” info lebih lanjut dapat dilihat di sini

Lagi-lagi pemerintah pusat dan daerah selalu dibuat kebingunan untuk mengatasi dampak negatif rokok ini, selalu dengan alasan sebagai industri penghasil pendapatan negara (pajak), tenaga kerja, petani tembakau dan lain-lain lagi yang saya juga sendiri bingung alasan apa lagi, kenapa tidak ada pemikiran yang kreatif dari pemerintah.

Mengenai rokok tidak hanya cukup dibuatkan UU saja akan tetapi lebih dibutuhkan tindakan nyata, bagaimana caranya menanggulangi itu semua dengan resiko seminimal mungkin, misal pabrik rokok ditutup diganti dengan industri lainnya, sehingga tenaga kerjanyapun tetap dapat bekerja dengan penghasilan yang layak dan petani tembakau diberikan alternatif pertanian lainnya. Hal ini memang tidak gampang akan tetapi patut dicoba, karena jika alasanya selalu sebagai industri penghasil pendapatan negara (pajak), tenaga kerja, petani tembakau tanpa solusi memadai, pasti permasalahannya tidak akan pernah selesai.

Akan tetapi jika kita mau mengkaji berapa pendapatan negara dari industri rokok dan berapa biaya untuk mengatasi dampak negatif dari rokok maka akan didapati nilai yang jauh tidak sebanding. Biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi dampak negatif dari kebiasaan merokok akan jauh lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari industri rokok tersebut.

Mari bebaskan bumi kita dari asap !!!…

Senin, Juli 13, 2009

Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media

Hari ini merupakan hari pertama bagi para pelajar kita memasuki tahun ajaran baru sekolah, yang mungkin sebelumnya sudah jauh-jauh hari dinanti-nanti oleh para calon siswa baru itu sendiri. Mereka yang sebelumnya belum berseragam akan mengenakan seragam baru SD yang putih merah, yang sebelumnya berseragam merah putih akan mengenakan seragam baru SMP putih biru, dan yang sebelumnya berseragam putih biru berganti dengan seragam SMA putih abu-abu. Inilah tahun ajaran baru sekolah yang penuh dengan pengharapan akan majunya intelegensi siswa sampai pada tingkat dan jenjang yang optimal yang dikemudian hari bisa menciptakan prestasi luar biasa dan tentunya membanggakan bumi pertiwi Indonesia

Menyoroti maraknya kehidupan di berbagai bidang pendidikan dan media yang terus-menerus saling bersaing, saling tindih-menindih, saling apit-mengapit dan apapun itu juga namanya, kita tidak hanya bisa diam terlongo pada tingkah laku berbagai komunitas itu, sehingga dengan aktif turut andil tentunya kita bisa melahirkan karya yang berdaya guna, intinya mari kita memperbaiki karya yang usang, dan yang berkadaluarsa.

Sekedar untuk menyimak arus karya-karya yang sudah terlahir dari dunia pendidakan dan yang ada di berbagai media, khususnya tentang perkembangan sastra, maka kembali sebisa mungkin kita merunut ke landasan awal, yaitu seberapa besar dunia pendidikan sudah memberikan konstribusi dan apresiasinya terhadap karya sastra.

Dari sekian banyak hal ikhwal kerancuan dan pergolakan dalam dunia sastra, media pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan ditilik keberadaannya. Karena bukan tidak mungkin dari permasalahan ini akan berimplikasi kepada hasil karya lainnya. Keterkucilan bidang sastra, sekaratnya pasar dan lesunya penjualan buku sastra, dan keengganan para siswa membaca buku-buku sastra, minimnya kuantitas dan kualitas koreksi terhadap hasil karya sastra, juga diperlengkap dengan sedikitnya media sastra, sebagai contoh, adalah gambaran di mana kurang suksesnya dan optimalnya pembelajaran pada bidang sastra, entah, mungkin di sekolah menengah (SMP atau SMU) atau mungkin justru di jurusan sastra (pendidikan maupun non pendidikan) di perguruan tinggi. Sebab jika pembelajaran sastra berhasil, maka kita boleh berharap banyak problematika-problematika itu akan larut, surut, sehingga akhirnya terkikis habis.

Dalam hal ini sebenarnya saya tidak bermaksud langsung mendikte dunia pendidikan atau menafsirkan suatu diagnosa, kemudian menghamparkan berbagai tips dan terapi perbaikan dalam menggarap sebuah pembelajaran sastra. Akan tetapi saya hanya akan mencoba memfokuskan pada permasalahannya saja guna menyoroti kondisi riil yang sedang berlangsung di sekolah atau di kampus yang menyelenggarakan program studi—pendidikan—bahasa dan sastra yang berada di berbagai kota besar Indonesia ini. Kita bisa dan perlu berasumsi bahwa berbagai perguruan tinggi yang mengadakan jurusan bahasa dan sastra Indonesia, merupakan lembaga yang sebagian besar adalah penghasil guru sastra Indonesia di kebanyakan di sekolah menengah (SMP atau SMU) baik yang berembel-embel negeri maupun milik “pengusaha”.

Dengan memandang konsep kehidupan sastra secara lebih luas, kita dapat menggelontorkan komentar sejauh mana peranan perguruan tinggi—dalam hal ini khusunya kampus yang menyediakan jurusan bahasa dan sastra—berapresiasi mengembangkan serta memasyarakatkan gaya sastra Indonesia kepada khalayak umum. Dari sini kita tentunya mampu menimbang lebih khusus lagi pertumbuhan karya sastra, minat, kajian juga kritik sastra terhadap hasil karya sastra itu sendiri.

Apabila kita tidak bisa mengimplementasikan gagasan sastra tersebutdengan tepat, untuk kemudian didiskusikan di forum yang paling kecil terlebih dahulu, mungkin salah satunya ialah sekolah, jadilah permasalahan sastra ini layaknya benang kusut, begitu benang yang satu teruraikan, benang yang lain menyelinap membelit lagi, dan sepertinya akan terus-menerus begitu, kecuali kita berkonsisten melakukan perbaikan secara menyeluruh yang melibatkan berbagia pihak. Tampaknya dunia pendidikan dewasa ini membutuhkan banyak keterlibatan para sastrawan yang sudah lebur ke dalam dunia kesusastraan Indonesia dan media-media—majalah—sastra.

Saya yakin kita akan bersepakat, ataupun kalau ada yang berselisih pendapat itu adalah suatu keniscayaan yang tetap harus dihargai keberadaannya, pemanfaatan sastra Indonesia bisa kita mulai dari dunia pendidikan, dengan menanamkan minat baca yang tinggi dan menciptakan kesan positif terhadap apresiasi sastra.

Salah satu yang lain yaitu memaksimalkan tatap muka pelajaran di sekolah atau mata kuliah sastra dalam perkuliahan, karena untuk menambah jam pertemuan mata pelajaran sastra di sekolah menengah dengan sistem kurikulum berbasis kompetisi (KBK) yang digulirkan diknas sekarang ini cukup sulit. Kenapa?…karena agaknya dalam kurikulum yang baru ini (KBK) sebagai pengganti suplemen GBPP 1994, porsi materi sastra belum beranjak jauh dari angka 19%, ekstremnya kurikulum di sekolah dan kampus menganaktirikan sastra.

Merujuk ke perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia, memang ada perubahan kurikulum. Mata kuliah sastra sekarang mencapai 22 sks, bahasa 41 sks, namun kurangnya guru dan dosen yang berwibawa di sekolah menengah dan di kampus yang memiliki jurusan bahasa dan sastra semakin nyata dengan minimnya tulisan-tulisan seperti kritik apresiasi, kritik jurnalistik, dan kritik yudisial yang ditulis sendiri oleh para lulusan sarjana sastra dan dimuat di Koran-koran, majalah-majalah sastra, jurnal-jurnal seni budaya dan media umum lainnya.

Hanya saja kita boleh menggumamkan secuil kebanggaan bagi dunia pendidikan sastra Indonesia, karena terapat dosen semisal Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma, juga Moh. Wan Anwar yang pernah memimpin jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia pada Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten—sekedar menyebutkan beberpa nama diantaranya.

Indonesia pasti akan kebanjiran karya-karya sastra yang berkualitas, dan ini bisa jadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya guna membangun dunia sastra yang berkompeten, melalui Koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya yang mengedepankan karya sastra sebagai topik pembahasan utamanya. Tentu jika saja sekolah menengah dan perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa dan sastra Indonesia, berkenan merekrut guru dan dosen bahasa dan sastra dari kalangan sastrawan yang sudah cebur-lebur di jalan raya—media atau dunia—sastra kita.

Jadi persoalannya kini mengerucut pada pertanyaan ; sekolah menengah umum—SMP atau SMU—dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan—pendidikan—bahasa dan sastra Indonesia mana yang hendak menarik dan merekrut sastrawan sebagai guru atau dosen?…dan media apa yang mau berkibar dengan topik bahasan utama sastra?…ENTAH…

Sabtu, Juli 11, 2009

Berkenalan dengan TUHAN

Sebagai makhluk, kita senantiasa mencari-cari siapa sesungguhnya pencipta kita, siapakah yang menciptakan alam semesta, langit, bumi beserta makhluk-makhluk yang menghuninya. Dengan berbagai metodelogi, mungkin kita dapat menemukan-Nya, bahkan berkenalan langsung dengan-Nya. Koq bisa ya?...bagaimana caranya?...
Untuk dapat bisa menemukan-Nya dan bahkan bisa berkenalan dengan-Nya, kita bisa memaksimalkan tiga unsur kecerdasan manusia yang tentunya semenjak terlahir ke dunia ini kita sudah memilikinya, hanya saja bergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya. Ketiga unsur itu adalah : kecerdasan berfikir (IQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ). dengan memaksimalkan ketiga unsur tersebut kita akan dibawa ke suatu pemahaman yang sangat luar biasa, sehingga kita akan mampu dipertemukan dengan yang maha tinggi.
Mari sedikit bercengkrama dengan orang-orang yang pernah hidup di jaman dahulu, agar kita juga dapat diperkenalkan dengan pencarian mereka akan hakikinya kehidupan. Lihatlah, Newton (1642-1727 M.), menemukan gaya grafitasi melalui renungannya setelah dia melihat buah apel yang jatuh tidak jauh dari tempat duduknya. Sebelumnya, Archimedes (212-287 M.), ahli matematika Yunani kuno kebingungan apakah mahkota Raja Hieron murni atau telah dicampur oleh sang pandai emas dengan bahan-bahan selain emas?... Akhirnya ia pun menemukan jawabannya ketika sedang berendam mandi. Ide tentang apa yang kemudian dinamai berat jenis ditemukannya ketika itu, demikian dan masih banyak lagi. Akan tetapi, apakah ini hanya suatu kebetulan atau itu adalah contoh hidayah Tuhan yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang berjalan dengan giat dan tekun menelusuri hukum-hukum (sunnatullah) yang ditetapkan-Nya?... Sepertinya demikian. Newton dan Archimedes adalah beberapa orang yang dapat memanfaatkan kecerdasan berfikir (IQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dengan baik, sehingga pencarian dan rasa penasarannya dapat terpenuhi.
Sementara ini banyak dari kita yang hanya mampu mengoptimalkan kecerdasan berfikir (IQ) saja, sehingga dapat disimpulkan pencarian akan hadirnya Tuhan mengalami kegagalan. Dengan demikian untuk memperhatikan kehadiran-Nya tidak cukup hanya dengan kecerdasan berfikir (IQ) saja, melainkan juga dengan kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ), atau mata hati. Tanpa keterlibatan kecerdasan emosional dan spiritual, tanda-tanda Tuhan tersebut tidak akan terjangkau, persis seperti seseorang yang akan menikmati merdunya musik, dengan menggunakan kedua matanya sambil menutup kedua telinganya.
Namun, trio kecerdasan tadi masih belum juga cukup untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Siapa yang meragukan Fir’aun tidak mempunyai SQ tinggi, Qorun tidak memiliki EQ tinggi dan Haman tidak memiliki IQ yang tinggi?... Datanglah Anda ke Mesir, di sana terdapat peninggalan mereka bertiga misalnya pyramid dan situs Luxor. Maka anda akan mengira betapa cerdasnya mereka! Siapa bilang Fir’aun tidak mengenal SQ?... Bila SQ berhubungan dengan ketuhanan, maka Fir’aun bukan hanya membicarakannya, tapi ia mengaku bahwa dirinyalah Tuhan. Jika SQ berhubungan dengan makna hidup seperti dikatakan oleh Zohar dan Marshall, bahwa jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain, maka apa yang tidak dimiliki oleh Fir’aun?...
Bahkan, ada yang berpendapat Fir’aun membangun pyramid sebagai pemakaman untuk dirinya, beserta hartanya sebagai bekal di alam abadi. Artinya, ia menyadari ada dunia lain setelah alam dunia. Tetapi ia tetap sombong.
Dan berkata Fir’aun, ’Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui ilah bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat ilah Musa, dan sesungguhnya aku yakin bahwa dia adalah termasuk orang-orang pendusta (Q.S. Al Qashash [28]: 38).
Siapa bilang Haman tidak memiliki IQ?... Untuk membuat pyramid semegah itu, tanpa menggunakan peralatan canggih seperti sekarang, tentu butuh IQ yang superior, atau bahkan jenius. Tanpa visualisasi dan hitungan yang jitu, pyramid tersebut pasti runtuh, tidak bertahan lama . Namun, hingga sekarang pyramid itu masih kokoh berdiri.
Siapa bilang Qorun tidak mempunyai EQ? Tanpa kecerdasannya dalam berhubungan dengan manusia, mana mungkin dia bisa menjadi konglomerat, yang memiliki kekuasaan dan bisa bersanding duduk sejajar dengan Fir’aun. Tentu saja ia memiliki kemampuan interpersonal yang tinggi.
Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata kepada Fir’aun, Haman dan Qorun; maka mereka berkata, ”(ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta”. (Q.S. Al Mukmin [40]: 24).
Lalu apa yang kurang pada Fir’aun, Haman dan Qorun? Kekurangan mereka cuma satu, yaitu tidak mengikuti tuntunan wahyu dari Allah yang dibawa oleh Nabi Musa As, hingga akhirnya mereka pun dibinasakan oleh Allah. Hal ini berkesesuaian dengan firman-Nya :
Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat setiap ayat-ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya (Q.S Al Araaf [7]: 146).
Ayat di atas merupakan peringatan bagi setiap mereka yang sombong, bahwa Allah akan memalingkan mereka dari kebenaran ayat-ayat-Nya, baik yang terhampar di alam raya, maupun yang termaktub dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, walau seandainya mereka melihat ayat-ayat tersebut dengan pandangan mata atau mengetahuinya dengan nalar, tetap tidak akan mampu mengantarnya memahami makna, fungsi, dan tujuan hidup dalam pentas sandiwara dunia ini.
Tuhan hadir di mana-mana, segala sesuatu yang nampak jelas—baik yang mampu dijangkau oleh mata maupun tidak—merupakan bukti keberadaan-Nya. Betapa alam raya ini tidak akan dapat terwujud apalagi dengan segala keindahan, keserasian, dan keharmonisannya, tanpa kehadiran-Nya. Dia telah menunjukkan kepada kita kerajaan dan kekuasaan-Nya, dengan membentangkan tanda-tanda-Nya di segala penjuru. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya—walau bisu sekalipun—adalah hujjah yang berbicara tentang wujud-Nya. Walau mata tidak dapat melihat-Nya, tetapi Dia berada di balik setiap ciptaan-Nya, seperti yang saya ungkap dari rasa penasarannya Newton dan Archimedes di atas.
Memang, Tuhan yang memiliki nama agung al Bathin, Yang tersembunyi hakikat, Dzat, dan sifat-Nya, namun sifat ini bukan menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, tetapi justru karena Dia demikian jelas sehingga mata dan pikiran seringkali silau bahkan tumpul. Imam al Ghazali menuliskan :
“Ketersembunyian-Nya disebabkan oleh kejelasan-Nya yang luar biasa, dan kejelasan-Nya yang luar biasa disebabkan oleh ketersembunyian-Nya. Cahaya-Nya adalah tirai cahaya-Nya, karena semua yang melampaui batas akan berakibat sesuatu yang bertentangan dengannya.”
Ayat-ayat-Nya yakni bukti-bukti, tanda-tanda wujud dan keesaan-Nya terhampar di mana-mana. Ia tertuang dalam kitab suci-Nya, juga terhampar di alam raya yang merupakan ciptaan-Nya. Yang terhampar itu, ada yang ditemukan pada diri manusia, secara individu atau kolektif, dan ada juga pada benda-benda, atau peristiwa, alam dan masyarakat.
Ayat-ayat-Nya menunjukkan bahwa Tuhan wujud dan ”berada” di mana-mana. Tanda-tanda itu mampu membimbing manusia untuk mencapai puncak evolusinya dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba Tuhan dan khalifah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Tanda-tanda-Nya merupakan pelajaran berharga bagi yang mau memperhatikannya, sekaligus dapat menjadi siksa bagi yang mengabaikannya. Bahkan, ayat-ayat-Nya dapat juga menjadi sarana latihan olah jiwa, yang pada akhirnya mampu menggerakkan pemerhatinya, meluas melampaui alam fisika, masuk ke alam metafisika dan merasakan kenikmatan alam pikiran dan ruhani yang bersih. Ayat-ayat atau tanda-tanda Tuhan sangat jelas dan sesuai dengan semua tingkatan pemikiran manusia. Ia sangat rapi dan siap untuk difahami oleh setiap hamba-Nya.
Tuhan ada di mana-mana, memenuhi setiap ruang semesta ini karena kebesaran dan keagungan dzat-Nya. Kita dapat menemukan tanda-tanda-Nya kemanapun kita melangkah, ke arah manapun kita memandang. Jika seseorang tidak menemukan-Nya, maka itu berarti mata hatinya buta, sehingga tidak melihat-Nya. Telinganya tuli sehingga tidak mendengarNya. Mulutnya pun bisu sehingga tidak bertanya atau bermohon kepada-Nya.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. Al A’raaf [7]: 179).
Memikirkan dan merenungkan Tanda-tanda-Nya, jika dilakukan bersamaan dengan kesadaran tentang kuasa-Nya, dapat membawa hasil yang sangat mengagumkan. Cobalah tinggalkan sejenak kesibukan dan hiruk pikuk kegiatan, dan mengarahlah kepada-Nya, Niscaya Anda akan menemukan-Nya lalu yakinlah bahwa Dia akan memberi petunjuk kepada apa yang Anda harapkan.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (Q.S. Yunus [10]: 3)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya ( Q.S. Qaaf [50]: 16 )
Kedua ayat tersebut menerangkan tentang keberadaan Tuhan. Dapat ditafsirkan juga bahwa Allah itu adanya di atas ‘Arasy yang lebih dekat dari pada urat leher manusia. Dalam penafsiran yang lain kedua ayat tersebut tidak ada kaitannya. Melainkan berdiri sendiri dalam menjawab konteks yang berbeda. Ayat pertama ditafsirkan lebih kepada menjelaskan posisi Tuhan secara fisik, di mana Tuhan diartikan memerintah dari ‘Arasy (semacam singgasana), dan Tuhan berdiam di tempat tersebut. Ayat kedua ditafsirkan lebih kepada bagaimana sifat Allah yang tahu segalanya. Termasuk tahu segala tindakan kita sebagai manusia makhluk ciptaan-Nya, sehingga disebutkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat lehernya yang sangat dekat itu.
Sekali lagi, sedikit yang terhidang dalam tulisan ini semoga dapat mengantar kita untuk bertemu dan berkenalan dengan-Nya melalui ciptaan dan peristiwa-peristiwa yang akan kita alami, menemui-Nya di dunia sebelum menemui-Nya kelak di sana—di alam Baqa’—dalam keadaan ridha dan diridhai-Nya. Semoga… Amin.
Maka, sudahkah anda berkenalan dengan Tuhan???....

Kamis, Juli 09, 2009

8 Juli 2009 Untuk Bertamasya

Tanggal 8 Juli 2009 hari Rabu kemarin adalah hari bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia, karena merupakan hari pemilihan presiden langsung oleh rakyat Indonesia. Ini merupakan pilpres yang kedua (sebenarnya ketiga karena pilpres 2004 berlangsung dua putaran) yang diselenggarakan secara langsung dan rakyat dapat memilih bebas secara langsung pula sesuai dengan kehendak hati dan pilihannya.

Untuk sebagian masyarakat yang lain pilpres dijadikan sebagai penyaluran aspirasi politik yang mereka miliki, untuk menentukan presiden RI di masa mendatang, akan tetapi bagi sebagian masyarakat yang lain pilpres merupakan kesempatan bertamasya dan menikmati hari libur dari aktifitas sehari-hari yang mungkin menyenangkan dan tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai kegiatan yang menjemukan.

8 Juli 2009 untuk bertamasya ini terjadi di kalangan rekan-rekan sekerja saya, di mana biasanya mereka tidak dapat menikmati kebersamaan yang bebas karena disibukkan oleh rutinitas di kantor tersebut. 8 Juli 2009 adalah hari libur bagi semua karyawan di kantor saya, sedangkan hari-hari yang lain tidak bisa menikmati liburan secara maksimal, karena meskipun hari minggu atau pun tanggal merah sebagian karyawan tetap masuk dan sebagian yang lain libur. Inilah dinamika di kantor saya karena di hari minggu dan tanggal merah saling bergantian untuk masuk bekerja.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh hampir semua karyawan di kantor saya untuk bertamasya di kawasan pegunungan yang berpantai, menikmati panorama pegunungan sekaligus nyiur angin pantai berpasir putih yang menyegarkan dan yang pastinya bebas dari intervensi pekerjaan yang tidak sedikit menyita kebebasan berpikir dan berbuat.

Kegiatan ini kami mulai dari pukul 10.00 pagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Sedangakan kegiatan untuk memilih dalam pilpres bisa diatur oleh masing-masing individu, bisa dilakukan pagi-pagi sekali pada saat TPS baru dibuka agar tidak terjadi antrian yang panjang dan hak memlih dapat tersalurkan, tapi di sini tidak sedikit juga yang memilih untuk tidak memilih, alasanya?…bervariasi, ada yang karena bangun kesiangan, tidak mau antri di TPS karena pada saat mendatangi TPS ternyata sudah banyak antrian, ada pula yang memang sengaja golput karena alasan ideologi dan ada juga karena administrasi KPU.

Nah demi untuk melakukan kegiatan yang bebas dari segala atribut pekerjaan banyak yang lebih memilih untuk meninggalkan pilpres dan menikmati tamasya. Ini adalah sebagian fenomena masyarakat yang terjadi di lingkungan masyarakat dan hal ini tentunya tidak dapat terbantahkan karena memang inilah kenyataan yang ada dalam masyarakat kita, baik yang sudah sadar maupun yang belum sadar politik.

Terlepas dari semuanya mari kita nikmati saja realita kehidupan ini selayaknya kita sedang bertamasya. Peace ajah