Senin, Agustus 10, 2009

Subjektivitas—Objektivitas Esai (Sastra) dengan Karangan Ilmiah

Kembali tulisan ini melanjutkan dari tulisan yang sebelumnya yaitu “Fenomena Kritik” beritanya dapat dilihat di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/fenomena-kritik/ dan “Mengembangkan Khazanah Sastra” infonya dapat baca di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/ juga menyambung dengan “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media” linknya dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/

Fenomena subjek dan objek memang tak akan pernah lepas, dari yang namanya kehidupan manusia, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan alamiah saja—sunnatullah—yang dibawa manusia semenjak dahulu kala. Manusia yang lebih dikenal sebagai subjek akan terus melakukan sesuatu, tentang pekerjaan, aktivitasnya, atau profesinya, khususnya menyangkut panorama tulis menulis.

Kita tentunya sering terlibat dalam obrolan dengan orang tua, saudara, teman, atasan atau siapapun dia, baik yang ringan-ringan saja, sedang-sedang saja, sampai kepada yang berat-berat saja (mungkin termasuk di dalamya berat badan juga, hehe…). Obrolan itu tercipta karena adanya sesuatu yang melintasi pikiran, yang sepontan hadirnya, maupun yang sudah terencana, sehingga kita merasa perlu untuk memperbincangkannya.

Begitu pun adanya esai, sering bergulir karena terlintasnya suatu ide, gagasan, opini, yang menjejali benaknya untuk dituliskan dalam media putih, digarapnya dalam beberapa paragraph. Kelahiran esai ini sering kali terjadi secara spontanitas, meski banyak juga yang menyusunnya dengan perencanaan yang matang, namun demikian tidak seketat penulisan sebuah laporan atau karangan ilmiah dalam satu penyusunan sebuah skripsi bagi mahasiswa S-1, karena jenis karangan ini bersifat ilmiah yang metodik.

Dalam kata penutup buku “Horison Esai Indonesia”. Iglas Kleden menyatakan, “Sesorang esai pada dasarnya tidak mengamati objeknya dari suatu jarak dengan sikap yang dingin dan teliti lalu kemudian mencatat sifat-sifat objek tersebut, tetapi justru berjumpa dengan, dan terlibat di dalam objeknya, mengajak objeknya berkata-kata, dan sekaligus memberikan tanggapan terhadap apa yang dikatakan oleh lawan bicara”. Dari penuturan di atas bisa diambil kesimpulan yang mendasar bagi lahirnya sebuah esai yaitu apabila sebuah obrolan merupakan bentuk penuturan lisan, maka esai dapat dikatakan sebagai implementasinya dalam bentuk tulisan.

Sejenak mari kita menengok sejarah muncul dan berkembangnya esai tersebut. Sekitar abad ke-16 di negara Perancis esai mulai ditemukan dan diperkenalkan kepada publik melalui sebentuk tulisan yang sederhana oleh filosof yang sekaligus sastrawan bernama Michael Equem D Montaigne (1533-1592). Sebagai seorang yang terlahir dari kalangan terpelajar, Montaigne berhasil melakukan pencairan dan menuliskan kembali serta menghidupkan warisan seni dan sastra Yunani berikut kesusastraan Romawi. Istilah “esai” sendiri merupakan kata yang diambil dan berasal dari judul dua jilid bukunya yang ditulis semenjak 1571 dan berhasil diterbitkan pada tahun 1850 yang berjudul asli “esais” yang kemudian dalam bahsa Inggris diterjemahkan menjadi “essays”.

Sesuatu Yang Unik
Kandungan makna yang terdapat dalam tulisan-tulisan tersebut mempunyai berbagai gaya pemikiran yang sangat menarik pada zamannya—saya pikir sampai sekarang juga ya... Cara penulisannya, dalam mengemukakan buah pikiran dianggap sesuatu yang unik oleh para kalangan filosof dan sastrawan juga para pembaca pada umumnya saat itu, yang akhirnya kreatifitas pemikiran Montaiigne tersebut berkembang menjdai satu genre atau genus literarum tersendiri. Tulisan-tulisan Montaigne ditanggapi, dipahami dan dianggap sebagi sesuatu yang konsubstantial, karena Montaigne sendiri mengiginkan tulisannya itu, dirinya dan juga hidupnya adalah suatu persoalan yang harus dipersepsikan sebagai perkara yang sama.

Di Indonesia sendiri esai pertama kali dipopulerkan secara menyeluruh oleh HB. Jassin, melalui tinjauan-tinjauan mengenai karya-karya sastra Indonesia dalam buku yang berjudul “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai”, yang kemudian diperluas menjadi empat jilid dan diterbitkan oleh PT. Gramedia 1985. Kita juga perlu mencatat nama Goenawan Mohamad yang berhasil menerapkan dan memperkenalkan bentuk esai yang ditulisnya dalam jurnalisme Indonesia bersama majalah Tempo yang dipimpinnya.

Buah karya Goenawan Mohamad salah satunya adalah “Kesusastraan dan Kekuasaan”, diterbitkan Pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1993. tidak ketinggalan pula Ajip Rosidi, yang pernah bekerja untuk Gunung Agung dengan salah satu judul bukunya “Masalah angkutan dan Priodisasi Sejarah Sastra Indonesia”, diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta. Ajip Rosidi memang dikenal sebagai salah satu sastrawan yang banyak menulis esai-esai tentang sejarah dan genealogi sastra Indonesia.

Esai seringkali dijadikan sebagai media perjumpaan dan persahabatan yang mempertemukan antara penulisnya (subjek) dan objek yang akan, sedang dan bahkan yang sudah ditulisnya. Dalam berbagai media massa, esai merupakan salah satu unsur pokok nilai berbobotnya media cetak tersebut. Hal ini tak dapat sangkal lagi, hampir semua media massa yang berbasis pada media cetak diseluruh penjuru dunia dan Indonesia khususnya, selalu membuat esai dalam setiap kali penerbitannya.

Banyak sekali tafsiran yang menyajikan berbagai pengertian esai, di antaranya yaitu Webster dictionary of the English language tahun 1877, menyebutkan bahwasannya esai merupakan sebuah tulisan, karangan, analisis, atau penafsiran tentang sesuatu. Sementara itu The Oxford English Dictionery volume III yang diterbitkan oxford university press, merumuskan sebagai suatu karangan dengan panjang bebas mengenai suatu permasalahan yang pada awalnya ditunjukkan oleh karangan-karangan pendek. Sedangkan dalam Encyclopediae International Newyork yang diusung Glorier Incorporated mengemukakan esai sebagai pengucapan berbentuk prosa dengan panjang sedang, dan biasanya dengan topik yang terbatas. Hampir sama dengan apa yang dikemukakan dalam Encyclopediae International, dalam Encyclopediae Americana menuliskan esai adalah karangan sastra singkat mengenai topkc yang relatife terbatas.

Di samping tafsiran yang telah disampaikan di atas, yang kesemuanya mengacu pada pengetahuan dan pendapat dari luar negeri, kita sebagai bangsa Indonesia tentunya perlu mencari pengertian esai itu berdasarkan ensiklopedi Indonesia. Pengertian tentang esai dapat kita temui dalam ensiklopedi Indonesia jilid-2 di situ dapat diambil satu pengertian, bahwa : “Esai adalah jenis tulisan prosa yang menguraikan masalah dalam bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan filsafat ; berdasarkan pengamatan, pengupasan, penafsiran fakta yang nyata atau tanggapan yang berlaku dengan mengemukakan gagasan dan wawasan pengarangnya sendiri”.

Dalam esai pengarang melontarkan suatu sudut pandang tertentu, sikap pribadi, membawakan penemuannya sendiri, mendekati bahan subjek dengan sistematika uraian yang teratur yang terang yang dituangkan dalam bahasa Indonesia tahun 1930-an, terutama dalam majalah Pujangga Baroe, kemudian berkembang di zaman sesudah perang.

Secara Formal
Esai pada dasarnya bisa ditulis secara formal, dengan menganut berbagai kaidah penulisannya. Esai juga bisa disajikan dalam bentuk yang tidak formal (non formal) dengan mengabaikan kaidah penulisannya. Penulis esai bisa pula dengan menampilkan berbagai jenis karangan, seperti ; deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi. Namun kita tidak hendak membahas jenis-jenis karangan tersebut, meski banyak pula cara penulisan yang menggunakan jenis karangan argumentasi.

Dengan demikian esai adalah satu bentuk tulisan yang menggabungkan antara sisi subjektivitas dengan sisi-sisi objektivitas. Karena seorang penulis esai biasanya terlibat langsung dengan objek tulisannya tanpa menanggalkan kepribadiannya secara utuh. Itu semua dapat dimaklumi dikarenakan kebanyakan penulis esai berpikir secara lateral yang menerima semua kemungkinan dan pengaruh bermain-main dengan berbagai eksperimen, gagasan, catatan pribadi, atau model percontohan lainnya, yang tak jarang bersifat spekulatif yang provoaktif.

Berbeda dengan kebanyakan penulis esai , metode penulisan karangan ilmiah lebih terikat kepada kaidah-kaidah penulisannya yang sudah baku dan yang mendasari jenis karangannya. Mari kita mengambil contoh untuk sebuah karangan ilmiah yaitu yang biasanya ditandai dengan pengajuan masalah terlebih dahulu yang dilanjutkan dengan penyusunan kerangka teoritis, yang kemudian dilengkapi dengan berbagai hasil penelitiaannya.

Hal inipun masih harus ditambahkan dengan ringkasan dan berbagai kesimpulan atas objek yang ditelitinya dengan menyertakan daftar pustaka sebagai referensinya. Semua itu harus disajikan dengan keobjektivitasan yang murni, yang berarti harus menyimpan dulu sisi-sisi subjektivitasnya sebagai seorang penulis. Karena bukan tidak mungkin apabila dalam melakukan penulisan terhadap hasil penelitian tersebut masih menyertakan segi subjektivitasnya akan menyebabkan keobjektivitasan penelitian tersebut menjadi terganggu.

Jadi pada kesimpulan akhirnya adalah apabila menulis esai, kita bisa menyeimbangkan factor subjektivitas—objektivitasnya, akan tetapi apabila kita hendak menulis karangan ilmiah, maka objektivitas penulis tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang wajib, bila perlu meniadakan unsur personal dan antropomorfisnya.

Tidak ada komentar: