Selasa, Juli 28, 2009

Bumi Semakin Berasap Tebal

Rupanya kebiasan menghisap rokok menjadi hal tak terbantahkan yang terjadi di kalangan masyarakt umum, dari yang masih bersekolah sampai yang sudah lulus SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi bahkan yang tidak pernah bersekolah, rokok merupakan teman sejati bagi para pecandu rokok. Dari usia yang relatif belia sampai yang tua bangka rokok tetap menjadi idola, layaknya memilih Indonesia Idol, mereka berlomba-lomba dengan merek rokok yang “keren”, sesuai dengan tampilan iklannya.

Kalau ditilik permasalahannya rokok akan membawa dampak negatif luar biasa apabila dibandingkan dengan sisi positifnya, akan tetapi sepertinya para perokok lebih rela menikmati hal yang negatif daripada mendapatkan manfaat positif yang lebih banyak dari menghilangkan kebiasaan merokok.

Sebagai salah satu contoh, saya coba ambil kebiasaan masyarakat bogor dalam hal perbandingan belanja rokok dan biaya lainnya. Misalkan dibandingkan dengan biaya pendikan dan pembelian susu untuk anak-anaknya sendiri, bisa dipastikan biaya untuk membeli rokok dalam kesehariannya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk biaya pendidikan dan susu untuk perbaikan gizi anak-anak mereka sendiri.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor dr. Triwandha Elan menyatakan keprihatinannya bahwa biaya belanja untuk kebutuhan rokok masyarakat daerah itu justru lebih tinggi ketimbang untuk kesehatan dan pendidikan.

Berdasarkan data Susenas (Survei Sensus Nasional), belanja rokok dan alkohol di Kota Bogor melebihi belanja untuk kesehatan dan pendidikan. Biaya untuk belanja rokok dan alkohol mencapai 6,9 persen, sedangkan belanja untuk pendidikan 6,4 persen dan kesehatan hanya 2 persen.

Sementara pengeluaran belanja rokok KK (kepala keluarga) miskin dari jumlah 41.349 KK miskin per tahunnya lebih dari Rp20 miliar. Juga berdasarkan hasil riset kesehatan dasar Kota Bogor tahun 2007, jumlah perokok di Kota Bogor mencapai 29,6 persen dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari 8,89 persen.

Sedangkan berdasarkan hasil Surkesda (Survei Kesehatan Daerah) tahun 2004, dari hasil Surkesda disebutkan bahwa jumlah perokok laki-laki di rumah tangga mencapai 57 persen, sedangkan perokok wanita 47 persen di rumah tangga di Kota Bogor. Populasi jumlah penduduk di Kota Bogor berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 905.132 jiwa atau hampir 1 juta jiwa. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang lebih serius lagi unsur pemerintah dan masyarakat maka “asap di kota Bogor mungkin akan lebih tebal.” info lebih lanjut dapat dilihat di sini

Lagi-lagi pemerintah pusat dan daerah selalu dibuat kebingunan untuk mengatasi dampak negatif rokok ini, selalu dengan alasan sebagai industri penghasil pendapatan negara (pajak), tenaga kerja, petani tembakau dan lain-lain lagi yang saya juga sendiri bingung alasan apa lagi, kenapa tidak ada pemikiran yang kreatif dari pemerintah.

Mengenai rokok tidak hanya cukup dibuatkan UU saja akan tetapi lebih dibutuhkan tindakan nyata, bagaimana caranya menanggulangi itu semua dengan resiko seminimal mungkin, misal pabrik rokok ditutup diganti dengan industri lainnya, sehingga tenaga kerjanyapun tetap dapat bekerja dengan penghasilan yang layak dan petani tembakau diberikan alternatif pertanian lainnya. Hal ini memang tidak gampang akan tetapi patut dicoba, karena jika alasanya selalu sebagai industri penghasil pendapatan negara (pajak), tenaga kerja, petani tembakau tanpa solusi memadai, pasti permasalahannya tidak akan pernah selesai.

Akan tetapi jika kita mau mengkaji berapa pendapatan negara dari industri rokok dan berapa biaya untuk mengatasi dampak negatif dari rokok maka akan didapati nilai yang jauh tidak sebanding. Biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi dampak negatif dari kebiasaan merokok akan jauh lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari industri rokok tersebut.

Mari bebaskan bumi kita dari asap !!!…

Tidak ada komentar: