Jumat, Desember 18, 2009

Perjamuan Air Mata (2)

Begitulah, nyata kedalaman cinta Tita terhadap Andi. Keberduan mereka ternyata setia diintip rembulan yang mulai meyingsingkan jubahnya perlahan, rupanya sang rembulan sedang mempersiapkan dirinya menjadi purnama, yang diharapkan mampu menebarkan kehangatan sinarnya.

Sejenak kemudian Andi berujar, “Engkau kini adalah kekasihku yang berangkat dari kehausan jiwa mengapung, dan purnama malam inilah yang telah menyaksikan keharuman cinta kita. Takkan aku biarkan mentari merongrong kelembutan cintaku dan cintamu. Mulai hari ini pertautan kasih kita takkan pernah kulepaskan hingga jiwa-jiwa kita dipanggil kembali oleh yang maha pemberi cinta. Aku harap engkau ikhlas menaungi kehidupan dan keberduaan kita hanya dengan sari madu lebah termanis sepanjang abad ini.”

Begitu lekatnya pertauatan cinta mereka hingga air laut dan ombak pantai pun bungkam tak sanggup mengomentari perasaan yang membalut keduanya. Malam sangat riang menapaki perjalanannya sambil menyebarkan semilir angin bersahaja mengelilingi perbukuitan kaki, di mana bebilik Tita singgah patri di pelatarannya. Dari situ seluruh keajaiban dunia seolah terlihat dengan jelas tanpa samar sedikitpun termasuk suara derai ombak yang menyapu kerang-kerang kecil di pantai.

Gemercik embun lirih membasahi dedaunan yang bergembira karena kemudaanya tersiram kesejukan yang siap mereka hantarkan nanti, pada kebutaan pagi, sejuk merenangi hamparan tanah yang sepertinya menghasrat kelembutan tetesan mega menggantung dari puri-puri lelangitan bersama temali bintang-bintangnya. Langit biru menyempurnakan malam yang damai itu, selaiknya mendukung keharmonisan kasih sayang antara Andi dengan Tita.

Tak sekedar bulan berlalu, berganti, enam purnama telah dilewati Andi dan Tita dengan kelezatan manis madu cinta mereka. Keduanya semakin menyatu dalam bingkai kasih tulus.

Andi membelai halus hitamnya rambut Tita seraya mengucap kata, “Persuaan rindu ini takkan pernah habis walau engkau kelak dipanggil yang maha kuasa. Akan selalu terkenang kerelaan cinta yang telah engkau pasrahkan semuanya untukku. Dan aku tak akan menghianati kesetiaan cinta yang selama ini engkau persembahkan. Kekasihku kaulah hidup yang sebenarnya kehidupan cinta, tiada terpupus bara taufan sekalipun.”

Tita yang dibelainya hanya terdiam terpaku, karena kesakitan mengelupasi rongga kehidupannya, sedikit demi sedikit parasnya memucat, sementara garis-garis kecantikannya masih nampak jelas tergurat mesra di peraduan wajahnya.

Senja kala itu terasa begitu lelap, menghantarkan kehidupan yang sementara, melambungkan ketakuatan-ketakutan akan bayang perpisahan. Hanya Andi yang merasakan kelembaban semilir angannya. Di pembaringan bebilik itu terlunglai Tita yang lemah, bertarung dengan kematian yang sedang menyapanya beringas.

Tak terelakkan kata-katanya melegam. Kepada Andi ia bertutur berat, “Maafkan aku kekasih, aku tak mungkin mampu menemanimu terus selamanya. Kehidupan kita akan terpisah seiring datangnya purnama ketujuh nanti malam. Ketakmampuan diriku ini janganlah engkau nisbikan dalam kedukaan yang panjang, karena memang selayaknya kehidupan akan berlangsung dan akan memisahkan dirinya sendiri, tatkala waktu penghabisannya telah tiba, kini saatnya bagiku menguntai cintamu, tapi aku tak sanggup mengecupnya. Jagalah dirimu dan cintamu, selalu dalam keadaan putih suci. Maafkan akau kekasih, bila mana perjamuan purnama kita tergenang air mata.”

Sekejap kemudian suasana bertambah semakin lengang, sunyi senyap, sepi, dingin, seakan tak ada perapian yang mampu menghangatkan bebilik cinta itu. Andi tak kuasa berkata-kata, hanya ditatapnya wajah kekasihnya yang diam, terbisu, meski dirautnya masih nampak tergurat senyum untuknya, namun senyum yang getir. Kepedihan harus merelakan kerinduan terbang, terbawa, akan terkubur pusara merah. Tak secuil cakap pun mengalir, meski sedesah. Mata Andi berkaca berkilatan emas, yang sesaat kemudian tertitik kesejatian cintanya mengalir, menetes, menyentuh bibir bisu Tita, seakan air matanya hendak merayapi kerongkongan Tita yang mendahaga kesejukan cinta.

Bathinnya berbisik lirih, “Seandainya engkau tak pergi secepat ini, mungkin keberduaan kita akan selalu dipenuhi keriangan, keniscayaan. Engkau akan selalu di hatiku kekasih, takkan padam bara suci cintamu di hatiku, hingga mungkin akan aku biarkan saja perjamuan air mata purnama ini kekasih.”

Perjamuan Air Mata (1)

Semenjak perpisahannya dengan Yanti anggrek yang memekarkan malam purnama valentine. Andi kembali mengarungi titian malamnya dengan berbagai perasaan kemarung sepi.kesenyapan batin yang merogoh angan lakunya menjadi padang rumput yang gersang tersambar kemarau gurun berkepanjangan. Musim seminya telah hangus dimakan bukit air mata yang digunduli penebang liar, penebang yang merobohkan kekuatan cinta,membakar salju rindu, menenggelamkan impian-impian nirwananya.

Air sungai yang mengalirkan seribu cinta, kering digerogoti pusara-pusara nafsu keinginan manusia yang congkak untuk memiliki desiran yang mempesona, memikat kesedihan nyanyian yang menguning dihempas angin dari utara. Bunga-bunga layu sebelum berkembangnya, putiknya berkafan tangisan musim dingin. Hari-harinya adalah kesengsaraan rindu yang membuka mulut nestapa-nestapa riak berkerut kebisuan kalbu mimpi. Gelak tawa bunga-bunga di taman halaman kerinduannya semakin mengiris perih jantungnya, jiwanya berontak.

“Aku harus keluar dari kungkungan ini, mendobrak maya kehidupan, melupakan mimpi yang selalu menghantuiku, mengubur dalam-dalam fase cinta yang memuakkan itu. Dan aku harus kembali berlari mencari sejatinya cinta pada muara perempuan-perempuan yang senantiasa mengalirkan madu rindu ke tempurung romanku.”

Andi segera melangkah mengemasi perilaku benang yang telah dirajutnya sebagai lapisan kulit keduanya. Ia membawa beberapa helai pintalan biru untuk berbekal dalam pencarian pelabuhan hatinya. Jalanan yang berdebu dan penuh liku berbukit-bukit terus Andi jelajahi tanpa kenal lelah. Peluh keringat membasahi sekujur angannya yang gersang terhantam sengatan matahari yang tepat berada di puncak ubunnya. Ia tetap tak peduli meski jiwanya tertunduk lesu di atas bebatuan yang membongkah nelangsa fikirannya.

Ketika mentari mulai menggantungkan sinarnya di balik hamparan senja yang menorehkan wajah-wajah sendu nan penat, Andi menyandarkan tatapannya pada kejauhan anyaman bebilik yang tersusun mesra di tiang kedirian bumi. Di sana ada kehidupan terpantul, sayup-sayup desiran angin dari dalam anyaman bebilik mengalunkan suara kenyamanan.

Andi mendekat dan berusaha menguak harmoni kedamaian dari dalamnya. Ruangan itu mengalirkan udara kebersamaan, dari setiap ujung telinganya mencerminkan warna-warna wajah yang saling memahami bahasa jiwa. Atap-atapnya memancarkan cinta dan membanjiri kerinduan Andi yang sempat kering diperasi keegoan ragawi.

Sungguh sifat-sifat kemanusiaan melingkari kehidupan susunan dan kemesraan rongga anyaman pada kedalaman isi ruangan bebilik itu, Andi mengisyaratkan mata dan hidungnya di kesampingan tembok ruangan itu, menyimak nuraninya sendiri dalam memantapkan tekadnya untuk memohonkan diri menyusupi tujuan-tujuan jiwa mengapungnya, serta menoleh buat segala kebaikan yang akan merengkuhnya.

Beberapa lamanya Andi merasakan kehangatan hidup dari luar tatanan kesturi cinta. Andi mengetukkan jemarinya di atas lempengan daun pintu yang dilumuri kemafhuman kasih yang berangkat dari ketulusan dan keikhlasan. Sebentar kemudian nampaklah perempuan setengah baya menghampiri Andi, dan mempersilahkannya memasuki ruangan. Dalam kedirian yang sederhana dikelilingi bunga-bunga serta pepohonan, setiap sudutnya di penuhi kesejukan rindu yang mengalir dari semua celah kehidupannya. Andi meletakkan tubuhnya di bilik-bilik rajutan bambu hening.

Direbahkannya kelelahan yang kemarin, sembari menghirup udara kenyamanan dan melahap seluruh pandangan di sekelilingnya. Dari balik horden kamar terdepan menampaklah dua sintal perawan cantik membawa sebingkis senyuman manis menghampiri Andi, untuk memperkenalkan keelokan parasnya pada Andi. Kedua perawan itu adalah saudara sekandung yang salah satunya sebaya dengan Andi, dan yang satunya lagi beberapa tahun kedewasaan di atas Andi.

Malam bergulir dengan tenang, memerdekakan sayap-sayapnya dari ikatan siang yang melelehkan kepenatan dalam lingkup air mata yang telah menisbikan cerita silam. Andi berusaha membuang jauh seluruh bayangan-bayangan yang menakutkan dari masa lalunya, dan melelapkan setiap jengkal kelopak matanya untuk mengusung mimpi-mimpi indah. Malam tak bertingkah aneh-aneh, Andi merasakan ketentraman tubuhnya di atas pembaringan tidurnya. Rembulan melihat tidurnya penuh dengan kenyenyakan yang dikelilingi oleh taman gairah kehidupan.

Dalam tidurnya Andi bermimpi menyaksikan berbagai keindahan, ia memandang sebuah rumah besar layaknya istana raja yang dihiasi lukisan-lukisan dinding dan patung-patung cinta. Di sekitarnya bertebaran taman bunga yang senantiasa dihinggapi lebah-lebah penghasil madu manis sebuah kerinduan.

Kemudian ia juga menatap rumah mungil dengan halaman yang luas dengan jalan setapak yang indah, menggambarkan resapan legit dan halusnya tutur rancang bahasa, seperti puisi yang menggabungkan irama sajak dengan keluasan arti.

Kebahagiaan malam berlangsung begitu damai melewati puri-puri bintang malam rembulan yang menyongsong fajar. Alam mencurahi perasaannya kepada pagi, dan gegaungan adzan yang melambangkan titah bibir Tuhan pada ummat manusia untuk menyibak hari dengan ketaatan.

Andi menghadapkan wajahnya ke arah suara nyanyian subuh untuk kemudian melaksanakan kewajiban atas nama penciptanya. Jiwanya dibangunkan oleh cahaya yang menyinari batinnya. Andi memunguti lidah kesunyian nirwana, meski kelaparan mencengkram dan menggerogoti tulang rusuknya, namun itu semua dilaluinya dengan penuh kekhusyukan. Pikirannya telah terbusana dengan sutra, dan setiap jemarinya dihiasi permata berharga yang hanya ia sanggup dapatkan dari kerelaan atas Tuhannya.

Pagi yang menyejukkan mata terpantulkan melalui warna-warna dan garis embun. Andi meneropongkan pandangannya keluar jendela, menerobos langit yang masih dihiasi bintang-bintang yang sedang berusaha berlari-lari menyumputkan tubuhnya dari kerlipan matahari.

Sejenak jiwanya hening sebelum sentuhan udara hangat membelai lamunan jendela persinggahannya. Didengarnya sapaan halus menderai renyah pada indera pendengaran Andi. Sesaat kemudian Andi menoleh ke arah muasal sapaan halus itu, dikembangkannya senyuman ke arah perawan di depannya, seperti senyuman pangeran menguntai wangi seorang putri tercantik. Perawan pun menyambutnya dengan semburat semu kekuningan pipinya, sembari mendekatkan dirinya pada Andi, ia lontarkan kembali senyum serta uraian ombak rambut temarumnya.

Setelah perawan tersebut duduk di sisi Andi, mulailah percakapan hangat antara keduanya. “Engkau terlahir begitu mempesona, biar rembulan bergabung dengan bebintangan, sinarnya takkan mampu menandingi kebeningan cintamu. Apakah engkau menghasrat cinta? Selayaknya aku ini menjelma sebagai insan yang berkelana sendiri, bertudung kesunyian yang membalut setiap pembuluh rindu. Apakah engkau hendak mengantarkan pendulum rindumu, menghadirkannya untuk diriku? Andaikan benar yang engkau hasrat adalah romanku, maka benarlah penyatuan antara diriku dan dirimu, segera membentuk gugusan prosa, laiknya cerita pertemuan Adam-Hawa di bukit ‘Arafah.”

Tita (nama perawan di sisi Andi tersebut) terdiam sejenak, merasakan seolah kehidupannya mengalir bersama-sama derai air sungai yang menuju melalui muara sebelum pertemuannya kembali di hamparan laut terluas.

Tita mulai memintal kata-katanya, “Aku adalah kesendirian yang terpatung di kedalaman senja, redup sinarnya. Aku telah terbata pada riak angin, di situlah persuaanku menepi perlahan, mendamparkan jiwaku di seonggok sunyi. Bila engkau hadir untuk membelah sepiku, akan aku sambut mentarimu dengan nyanyian pagiku, karena jauh sebelumnya, sebenarnya akulah yang terlebih dahulu mendamba segala eposmu.”

Pergenangan siangpun tak terasa telah berlari surut menyusu ke pematangannya. Sebelum senja lindap kembali, Tita mengajak Andi untuk bersua dan bercengkrama, menabirkan angin di pelataran.

Tita mendesahkan kepuitisannya, “Tertarikkah engkau terhadap alam yang terpantulkan keindahannya dari pusara air laut itu? Tidakkah engkau melihatnya itu sebagai anugerah Tuhan untuk setiap sudut tatapan mata kita? Seperti itulah kelahiran cintaku ini padamu, takkan lelah mengakasih, sepanjang zaman masih tetap menyembulkan nafas kehidupannya, aku akan selalu mencintaimu bersama rangkaian sukmaku.”