Kamis, Agustus 13, 2009

Subjektivitas Membaca Puisi

Ini merupakan rangkaian terakhir dari 5 tulisan saya mengenai kesusastraan Indonesia. Untuk hanya sekedar mengingatkan kembali, tulisan yang sebeleumnya yaitu :
1. Subjektivitas—Objektivitas Esai, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/11/subjektivitas%E2%80%94objektivitas-esai/
2. Fenomena Kritik…, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/fenomena-kritik/
3. Mengembangkan Khazanah Sastra, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/
4. Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/

Puisi pada hakikatnya adalah penciptaan yang lahir dari sebuah perasaan dibarengi dengan gaya pemikiran penulisannya yang kemudian dibalut bersama kreatifitas imajinasi juga metafora. Penyair adalah seorang spesialis. Puisi-puisi yang ditulisnya dibaca atau tidak oleh khalayak umum bukanlah suatu persoalan yang besar. Namun demikian yang lebih terpenting bagi seorang penyair dalam menuliskan buah perasaanya ke dalam bait-bait puisi adalah kepuasan batin, kepuasan yang mungkin akan sulit dinikmati oleh orang biasa yang bukan pecinta puisi. Kepada para penyair janganlah pernah merasa miris terhadap berbagai dinamika yang berkembang saat ini. Memang terkadang pencapaian karya puisi hanya dapat dinikmati dan dihargai secukupnya oleh segelintir kalangan yang paham akan sebuah instuisi puisi. Tak jarang pula menjadi setombak menara gading yang tersingkirkan ke dalam splending isolation. Mari kita berbesar hati saja ibaratnya puncak pohon yang menjulang tinggi, benar akan merasakan sepi sendiri di udara terbuka, yang daun-daunnya harus mampu bertahan menghadapi terpaan, hujatan, angin dan topan.

Merenungi berbagai kecamuk yang merengek dalam belantara jiwa, penulis puisi dituntut untuk dapat mengekspresikan segala instuisi batinnya menggelorakan imajinasinya, menguraikannya ke dalam bait-bait puisi. Puisi diharapkan mampu menerobos formalisme bahasa yang pada gilirannya nanti membuatnya menjadi ekspresi yang personal sekali.

Kata-kata yang dilepaskan dari tautan-tautan resmi khasanah perbahasaan dengan ikatan maksud dan maknanya, sehingga kata-kata yang tertuang pada guratan puisi itu dibebaskan untuk mencari dan menunjukkan maknanya sendiri. Seorang intelektual dalam bidang sastra yang selalu berpikiran clear dan distinct.

Ignas Kleden dalam “Godaan Subyektifitas”, (Horison, Januari 2004, hal-29-30) menggaris bawahi “Kredo”nya Sutardji Calzoum Bachri “Sutardji Calzoum Bachri, memaklumkan pembebasan atau dekolonisasi kata-kata dari penjajahan konsep-konsep. Kata-kata bukanlah para budak yang harus memikul beban pengertian kian kemari, melainkan adalah mahluk merdeka yang dapat dan harus menentukan dirinya sendiri. Penyair bukanlah orang yang memakai kata-kata sebagai alat, melainkan orang yang bergaul akrab dengan kata-kata yang dibiarkannya bergerak bebas. Penyair tidaklah mendiktekan perintah atau instruksi tentang apa yang harus dimaknai oleh sebuah kata, melainkan membantu dan merangsang kata tersebut untuk menemukan maknanya sendiri atau mencopot kembali makna tersebut sekendak hatinya. Kenyataan ini dilukiskan oleh penyair Sutadji Calzoum Bachri dengan cara yang demikian radikal, sehingga penyair tidaklah dianggapnya sebagai pencipta makna kata-kata, tetapi hanya menjadi medium perjumpaan kata-kata dengan maknanya. Mungkin karena paham seperti inilah Sutardji Calzoum Bachri berpendapat bahwa fungsi puisi kurang lebih sama dengan fungsi sebuah mantra dalam komunitas-komunitas tradisonal. Kalau seorang dukun atau seorang perantara menjadi medium bagi kata-kata untuk menemukan kekutannya yang performatif, maka penyair menjadi medium bagi kata-kata untuk menemukan kekuatan ekspresifnya. Keberhasilan mantra diukur berdasarkan efektifitas bahasa, sedangkan keberhasilan puisi diukur berdasarkan simbolisme bahasa”.

Bahasa puisi mengedepankan kebebasan, sebebas tujuan pemaknaannya yang bergelayut kesana kemari, yang menyebabkan pembacanya pun bebas menafsirkan puisi dari sudut manapun yang pembaca sukai dan kehendaki. Seorang penyair seyogyanya memproduksikan makna, makna puitis dalam puisi-puisi yang bisa diimplementasikan dalam wacana umum yang lebih luas, bebas, tak terikat. Menciptakan sebuah puisi tidak bisa didasarkan pada sutu desain, kerangka perencaan, seperti membuat miniatur gedung-gedung pencakar langit, akan tetapi puisi muncul karena proses yang telah matang dalam diri seorang penyair.

Faktor subyektifitas inilah yang paling mempengaruhi kualitas puisi-puisinya. Jika diibaratkan dengan bunga, pupuk, air dan perawatan dari penanamnya selalu diperlukan oleh bunga, agar waktu mekarnya kembang dapat mengahasilkan dan menyebarkan wangi yang semerbak. Kalau ada penulis puisi yang menuliskan puisinya dengan cara dan mencoba mendesain rencana puisinya dengan menggunakan metode tertentu, seperti halnya menulis sebuah karangan ilmiah, pastilah kesannya akan lucu dan ditertawakan para pecinta puisi.

Boleh saja kita menengok, mempelajari, memahami, mengerti, memafhumi beberapa kaidah penulisan karangan sastra, yang mungkin pernah diperoleh di sekolah menengah (SMP/SMU) atau mungkin di perguruan tinggi, melalui mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia atau apapun namanya yang berkaitan dengan sastra. Oleh karena itu mari untuk sejenak saja kita menilik beberapa kaidah penulisan sastra tersebut, seperti tema, diksi, irama, enjabemen, majas, rancang bangun dan sebagainya, ini berlaku untuk penulisan puisi. Atau, tema, alur penokohan, latar, sudut pandang dan sebagainya juga, untuk menulis sebuah cerpen dan novel. Akan tetapi hal tersebut di atas bukan menjadikan suatu keharusan dalam meuliskan puisi dengan menggunakan metode-metode tersebut. Kita bisa saja lepas bebas dari semua kaidah itu, apabila kita sudah mampu mengekspresikan, mengimplementasikan daya kreatif dan imaji kita untuk mencipta dan melahirkan sebuah puisi yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh para pembaca dan pecinta puisi lainnya. Intinya proses kematangan dirilah yang akan banyak mempengaruhi berbobot tidaknya puisi itu.

Banyak sekali penyair yang mengungkapkan dan melakukan pemilihan kata-katanya dengan menghadirkan frase yang memiliki makna yang berlainan dengan makna harfiahnya sendiri. Untuk mendukung pernyataan ini saya gambarkan sebuah contoh, seperti : “Derai rintik bercakap dengan mendung”, ambilllah kata “rintik” dan “bercakap”, jika kata-kata itu diartikan satu-persatu, maka akan segera ditemukan makna kamusnya (leksikal) dan itu adalah kata denotatif. Akan tetapi ketika kata-kata itu menjadi suatu rangkaian kata yang satu, jadilah ia frase konotatif yang maknanya tidak lagi leksikal, namun makna tersebut hanya dapat ditemukan dalam puisi itu sendiri (gramatikal).

Makna gramatikal ini terbentuk karena adanya kiasan, yang mana berfungsi untuk menghadirkan sebanyak mungkin kemungkinan makna dari deretan kata atau ungkapan atau juga sebuah susunan kalimat. Dalam puisi kita akan sering menjumpai metafora dan simile. Metafora merupakan suatu bentuk perungkapan perbandingan yang bersifat implisit, di mana makna yang sebenarnya akan tersembunyi di dalam makna harfiahnya atau hanya tersirat. Sedangkan simile merupakan suatu bentuk perungkapan perbandingan yang bersifat eksplisit, yang mana biasanya penggunaan kata-katanya menggunakan konjungsi (semisal, seperti, sebagai, serupa). Sekedar menyebutkan beberapa contoh penggunaannya, dan hal ini pula seringkali ditandai dengan penggunaan morfem se.

Pada dasarnya kiasan yang baik sangat ditentukan oleh bagaimana seorang penyair membangun bentuk-bentuk perbandingan untuk mencapai efek puitis yang dikehendakinya, seperti mendayagunakan metafor dan simile tersebut di atas.

Kembali pada topik bahasan kita, yaitu mengenai sosok subyektifitas puisi yang menitikberatkan pada peran kejiwaan yang matang pada diri seorang penyair dalam menghamparkan puisinya. Kita akan coba kembali mengutip tulisan Sutadji Calzoum Bachri, “Penyair dan Telornya” (Bentara, Kompas, 2 November 2001, hal-44) yaitu : “Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembebasan dari realitas, karena itu dia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas”.

Maaf mungkin saya hanya sedikit mengulas tentang teori-teori penulisan puisi yang hanya sekedarnya saja itu, karena tidak lain ini merupakan keterbatasan saya dalam memahami teorinya, jika para pembaca memiliki teori atau apapun yang berlebih, bolehlah kiranya berbagi, memberikan sumbangsihnya kepada saya.

Tidak ada komentar: