Senin, Agustus 31, 2009

Mahalkan Harga Rokok!


Rokok adalah produk yang menjadi dilema bagi masyarakat maupun pemerintah. Industri rokok adalah penyumbang terbesar devisa negara. Namun apa gunanya pendapatan negara naik tapi tanggungan pemerintah untuk penderita penyakit karena rokok meningkat?

Salah satu penyebab tingginya konsumsi rokok adalah karena terjangkaunya harga rokok. Harga satu bungkus rokok merek lokal termurah di Singapura adalah Rp 66.600, di Malaysia Rp 13.800, di Thailand Rp 7.900, sedangkan di Indonesia harganya cuma Rp 5.000.

"Rendahnya harga rokok menyebabkan rokok bisa dibeli oleh kalangan miskin sekalipun. Harga rokok yang rendah itu disebabkan karena adanya subsidi dari industri rokok itu sendiri. Kalau mau dicek, harga di bandrol lebih mahal dibanding harga jualnya," tambah kata Dr. Sonny Harry B. Harmadi dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dalam acara seminar Sistem Cukai Tembakau yang Efektif dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat di Hotel Borobudur, Jakarta 28 Agustus 2009.

Oleh karena itu, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia adalah dengan menerapkan cukai yang tinggi untuk rokok secara drastis bukan bertahap.

"Yang selama ini dilakukan pemerintah adalah menaikkan cukai perlahan-lahan, dan situasi tersebut dimanfaatkan oleh industri rokok untuk mengadaptasi kebijakan pemerintah dengan melakukan perubahan strategi penjualan atau teknologi," jelasnya.

Cukai hanya efektif untuk mencegah para perokok pemula tapi tidak untuk yang terlanjur merokok. Padahal semua orang tahu rokok tidak baik untuk kesehatan.

"Di dalam asap rokok terkandung 44.000 zat kimia, aditif dan toksin dan jumlahnya diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya," ujar Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Dr. Yusharmen Dcomm, MSc.

Meskipun sudah ada ancaman dan sanksi untuk para perokok, tapi hingga kini jumlahnya tidak berkurang bahkan meningkat. "Keinginan berhenti merokok sebaiknya berasal dari ruhnya daripada karena ancaman," ujar Yusharmen.

Satu cara untuk menghentikan para perokok jka meniru negara thailand adalah dengan teknik demoralisasi. "Dengan diberlakukan demoralisasi yaitu memunculkan perasaan malu kalau punya rokok di saku karena ada gambar yang menjijikan, orang akan berpikir dua kali untuk beli rokok karena rokok dianggap barang yang memalukan," ujarnya.

Dalam waktu dekat ini, Depkes RI juga akan mengeluarkan alat scanner untuk para perokok sehingga dapat menentukan sanksi untuk pelanggaran karena merokok.

"Kita akan bekerja sama dengan kepolisian untuk mengetahui kadar nikotin dalam darah, jadi bisa ditentukan sanksinya tergantung seberapa besar kandungan nikotinnya dalam darah," ujar Yusharmen.

*sumber; http://health.detik.com/read/2009/08/31/103838/1192922/775/mahalkan-harga-rokok

Sabtu, Agustus 29, 2009

Perempuan Perokok Lebih Berbahaya

Jumlah perempuan perokok di Indonesia meningkat 5 kali lebih banyak dibanding pria. Ada tren jumlah perokok perempuan terus meningkat sedangkan perokok laki-laki stabil.

Asal tahu saja, setiap tahunnya 1,5 juta tahun orang meninggal dunia karena rokok dan 25.000 orang yang meninggal� diantaranya adalah perokok pasif.

Di Indonesia, perokok lelaki sebanyak 65,9% dan 4,5% perempuan. Data Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, jumlah tersebut terus naik, terutama perokok perempuan.

"Untuk perokok pria, jumlahnya cenderung stabil, tapi anehnya untuk perempuan meningkat 5 kali lebih banyak, dan jumlahnya diperkirakan terus meningkat tiap tahunnya," ujar Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Dr. Yusharmen Dcomm, MSc dalam acara seminar Sistem Cukai Tembakau yang Efektif dan Peningkatan Kesehatan Masyarakat di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2009.

Menurutnya hal itu dipengaruhi oleh gaya hidup yang tidak sehat di masyarakat saat ini. Dan perempuan lebih banyak terpengaruh oleh lifestyle yang tidak baik dibanding lelaki.

Lifestyle seperti pergaulan dengan sesama perokok dan seringnya mengunjungi tempat-tempat hiburan yang banyak dikunjungi kalangan perokok kurang lebih gampang mempengaruhi wanita.

Dampak konsumsi rokok terhadap kesehatan tidak langsung teramati tapi membutuhkan waktu yang lama. Munculnya berbagai simptom penyakit akibat merokok baru akan terlihat setelah 25 tahun, seperti jatung, kanker, kencing manis dan lainnya.

"Semakin dini seseorang mengenal rokok, semakin cepat juga terkena penyakit-penyakit itu," ujar Yusharmen.

Berdasarkan data epidemiologi dari negara maju, diasumsikan bahwa setengah dari 57 juta penduduk di Indonesia akan meninggal akibat berbagai penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok.

Jika jumlah perokok perempuan di Indonesia terus menigkat dari tahun ke tahunnya bahkan dengan jumlah yang berlipat ganda, apa jadinya anak-anak penerus generasi bangsa yang lahir dari rahimnya?

"Pembangunan Indonesia selama 30 tahun lebih yang susah payah dilakukan pejuang negara sebelumnya hancur karena satu jenis barang, yaitu rokok. Sungguh celaka," ujar Suahasil Nazara, PhD, kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Eonomi Universitas Indonesia.

*sumber; http://health.detik.com/read/2009/08/29/121656/1192114/763/perempuan-perokok-di-indonesia-naik-5-kali-lipat

Jumat, Agustus 28, 2009

Buka Puasa Ramadlan dengan Semangka Busuk

Sekitar tahun 80-an. Sebenarnya waktu itu kami masih duduk di sekolah dasar. Kebetulan kami terlahir dari keluarga dan lingkungan yang cukup agamis. Kami sering bepergian bertiga, jalan-jalan bertiga, bahkan makan-makan pun bertiga.

Meski kami waktu itu masih SD, pelajaran puasa sudah biasa ditanamkan oleh keluarga untuk selalu puasa penuh selama sebulan Ramadlan. Kami berusaha selalu taat menjalankan ibadah di bulan suci penuh rahmah, barakah dan ampunan ini.

Ramadlan di tahun 80-an tersebut sedang memasuki bulan di mana kemarau sedang teriknya. Karena kami sering berpetualang bertiga, tidak salah juga kami jalan-jalan mengelilingi daerah yang sedang diadakan panen semangka. Sambil menyusuri jalanan yang penuh dengan kebun semangka, kami membayangkan betapa enaknya nanti kalau berbuka jika diawali dengan menyantap buah semangka yang segar dan menggoda.

Rupanya hawa nafsu mengatakan lain, “mendingan sekarang saja makan buah semangka segarnya, daripada nanti kehabisan dan tidak kebagian, rugilah kita semua tidak bisa merasakan kenikmatannya”. Begitulah kira-kira hawa nafsu berbicara.

Mungkin perasaan hati kami bertiga pada saat itu tidaklah jauh berbeda dalam membayangkan nikmatnya semangka. Keberanian untuk melanggar komitmen berpuasa rupanya terkalahkan oleh rayuan buah semangka tersebut. Salah satu dari kami mengajak membeli dan menikmatinya secara langsung. Awalnya Saya dan temen saya yang satunya lagi agak ragu-ragu untuk mengatakan iya, tapi…ya itu tadi godaan buah semangka dan hawa nafsu yang besar mengalahkannya.

Hari itu kami sukses menikmati kesegaran buah semangka yang membatalkan puasa kami.

Sore hari, kami biasa pulang ke rumah masing-masing, dan tetap berlaga kalau kami seperti orang yang sedang berpusa kebanyakan. Orang tua dan keluarga kami tidak ada yang tahu. Sehingga besoknya pun kita coba mengulanginya lagi, dan tidak ketahuan pula. Hingga muncul niatan untuk yang ke tiga kalinya.

Nah…pas yang kegiatan yang ke tiga kalinya inilah, kami mengalami hal yang mengecewakan, ternyata semangkanya pada busuk. Kami mencoba memilih yang lain ternyata busuk juga. Akhirnya kami menyerah.

Sore harinya, Kami pun pulang kembali sambil berdiskusi. Mungkin ini adalah peringatan dari Allah, karena kita telah membatalkan puasa dengan cara yang tidak jujur. Lho…iya dong sudah berdosa tidak berpuasa ditambah lagi berbohong pada keluarga mengaku tetap berpuasa.

Ternyata banyak cara yang Allah dapat tunjukkan pada kita agar segera bersadar diri dan segera memperbaiki kesalahan yang kita perbuat. Alhamdulillah Allah masih memberikan hidayah-Nya pada kami, sehingga kami segera tersadar dan bertaubat untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi.

Wallahu’alam.

Sabtu, Agustus 22, 2009

Tegakkan Jamaah Islamiyah!

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Qs. Ali Imran ayat : 103)

Akhir-akhir ini islam begitu terpojok. Seolah-olah setiap kejadian yang berkaitan dengan terror, pelakunya adalah orang islam. Islam sebagai sebuah agama terbesar di Indonesia dan terbesar kedua di dunia seakan-akan sebagai penyebab dari semua teror yang terjadi. Para Mubaligh islam begitu sulitnya untuk menyebarkan ajaran dakwah, meski sebenarnya dakwah yang diajarkannya sesuai dengan tuntunan Al-qur’an dan Al-hadits.

Meski ajaran yang dibawakan oleh Mubaligh tersebut sudah sesuai dengan Al-qur’an dan Al-hadits, tetapi di masyarakat banyak sekali terjadi pertentangan. Pertentangan ini terjadi terkait pemberitaan negatif yang begitu massif dari berbagai media televisi, media cetak maupun dunia maya (internet). Pemberitaan yang tidak berimbang.

Kecurigaan masyarakat terhadap ajaran islam yang menurut sebagian masyarakat adalah sesat sebagai pemicu. Para orang tua melarang anaknya berkumpul dalam sebuah majlis pengajian. Komunitas Masjid terpinggirkan. Tetangga yang pandai mengaji dan alim dijauhi sekaligus juga dicurigai. Ironisnya kegiatan yang mendikte tersebut dilakukan oleh orang islam terhadap ummat islam itu sendiri. Sekarang begitu sulitnya islam berkembang. Agama dijauhi, moral beragama masyarakat rontok.

Patut diselidiki sebenarnya siapa di balik semua terror yang terjadi. Yang mirisnya mengatasnamakan agama yaitu islam. Jikalau kita pandai, terror tidak akan terjadi. Logikanya orang islam sendiri tidak akan merusak agamanya sendiri. Sepertinya terdapat “dalang” yang bermain di belakang ini. Mencuci otak ummat islam yang pengetahuan islamnya masih “dangkal”. Menukil ayat Al-qur’an dan menyelewengkan tafsirnya sebagai sesuatu yang jitu untuk mendoktrin ummat islam yang “kurang pandai” tersebut.

Kepastian siapa “dalangnya”, silahkan Pemerintah dengan Polisi anti terornya bekerja membuktikannya, dan kita sebagai rakyat juga mendukung upaya tersebut.

Apabila kita menilik para mubaligh yang sekarang banyak bergerak dalam dakwah di masyarakat adalah sesuai dengan tuntunan islam, mungkin hanya beberapa saja di antaranya yang mengajarkan tentang “kekerasan”.

Banyak terjadi kekeliruan informasi di masyarakat awam. Mereka menilai simbol islam yang mengenakan jubah dan celana putung di atas mata kaki sebagai salah satu anggota jaringan teroris. Ini penyesatan informasi yang rancu. Padahal jika masyarakat awam memahami ajaran syari’at islam secara baik, kekeliruan anggapan tersebut tidak akan terjadi. Cara berpakaian demikian diajarkan oleh sang pembawa cahaya kebenderangan ummat yaitu Nabi Muhammad.

Tentang kebenaran Nabi Muhammad dapat dilihat di sini http://public.kompasiana.com/2009/05/15/berita-kebenaran-nabi-muhammad-saw-dalam-al-qur%E2%80%99an-dan-al-kitab/

Selayaknya kita yang mungkin lebih memahami tentang ajaran islam bisa memberikan pengertian yang lebih bijak mengenai ajaran islam yang sesungguhnya. Islam sangat mengajarkan kedamaian. Agama yang “Rahmatan lil ‘alamin”. Islam sangat menentang perilaku bunuh diri dan membunuh orang lain tanpa sebab yang dapat dibenarkan oleh Al-qur’an dan Al-hadits.

Jamaah Islamiyah yang benar adalah membangun aqidah dan akhlaq yang terpuji, bersama dalam ikhwanul muslimin (Ukhuwah Islamiyah), bersatu dalam naungan Al-qur’an dan Al-hadits. Bukan menyebarkan ketakutan di antara ummat manusia. Kita semua menentang bentuk terror dan kejahatan terhadap apa dan siapapun. Tugas seorang muslim dengan muslim lainnya adalah harus membangun kembali Jamaah Islamiyah. Jamaah yang sempat terkoyak oleh isu terorisme.

Sebagai ummat islam yang berakhlaq mulia, janganlah mudah terpicu oleh isu dari setiap hal yang menciderai nilai agama itu sendiri. Mari bersatu padu menegakkan Jamaah Islamiyah yang Rahmatan lil ‘alamin. Tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak berimbang. Mengejawantahkan ajaran agama dengan sopan, baik, dan bijak juga kaffah adalah modal utama untuk membangun Jamaah Islamiyah yang sempurna serta islami sesuai Al-qur’an dan Al-hadits.

“… dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan …” (Qs. Al-Maidah ayat : 2)

Wallahu ‘alam…Peace Ajah…

Kamis, Agustus 20, 2009

Obrolan Tiga Bayi Kembar

Dalam suatu perut seorang Ibu yang hendak melahirkan, terjadilah sebuah obrolan atau diskusi di antara para calon bayi yang akan terlahir kedunia ini. Obrolan tersebut mengenai cita-citanya masing-masing ketika nanti sudah terlahir di dunia. Kebetulan sang calon ibu tersebut mengandung tiga bayi kembar.

Anggap saja namanya A, B dan C. Obrolannya kira-kira begini :

A : Saya bingung kenapa rumah kita yang sekarang sempit amat ya?...ntar kalau saya dah terlahir ke dunia dan tumbuh besar, saya pengen jadi Arsitek, biar bisa bangun rumah yang gede, mewah dan lega, nggak sempit kaya sekarang.

B : Saya juga pengen punya PLN, biar rumah saya nanti bisa terang terus, nggak kaya di sini gelap banget.

C : Kalau saya pengen jadi Detektif aja ah...

Si A dan B bingung, mereka kompak bertanya ; "Kenapa harus jadi Detektif?"...

C : Saya pengen menyelidiki siapa bocah kecil berhelm yang suka keluar masuk rumah kita sambil nonjokin kepala kita, pake nyiram kepala kita lagiii...jadi basah deh...

Semuanya bilang Ooooooo....

Kamis, Agustus 13, 2009

Jangan Mau Jadi Perokok Pasif !!!....

Larangan merokok di tempat umum bukan berarti “memusuhi” para perokok dengan membatasi hak orang untuk merokok. Melainkan merupakan bagian dari sikap saling menghargai antara perokok dan nonperokok yang memang berhak atas udara bersih dan ingin hidup sehat.

Siapa sih perokok pasif? Perokok pasif adalah mereka yang tidak merokok, tapi terpaksa mengisap asap rokok dari para perokok yang ada di dekatnya. Ironisnya, wanita dan anak-anak merupakan korban terbanyak yang terpaksa menjadi perokok pasif. Mereka inilah yang sebetulnya paling menderita dibanding si perokok sendiri. Pasalnya, banyak perokok yang tidak benar-benar mengisap dalam-dalam rokoknya sehingga asap yang dikeluarkannya jauh lebih banyak dan asap inilah yang terisap orang di sekitarnya. Bahaya asap rokok bagi perokok pasif ini semakin berlipat ganda jika para perokok aktif merokok di ruang tertutup.

AROL (Asap Rokok Orang Lain) adalah asap yang keluar dari ujung rokok yang menyala atau produk tembakau lainnya. AROL terdiri atas asap utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar bahan berbahaya. Jadi, perokok pasif mengisap tak kurang dari 75% bahaya berbahaya ditambah separuh dari asap yang diembuskan keluar oleh si perokok!

Sebenarnya semua orang tentu sudah mengetahui bahaya merokok. Sayangnya, hal ini masih sangat diabaikan. Rokok dan tembakau telah menjadi epidemi global yang mengakibatkan 1 orang meninggal setiap 6 detik. Rokok juga menjadi 7 dari 8 penyebab kematian utama di dunia. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada anak sekolah usia 13-15 tahun (1999-2006) di 132 negara menunjukkan 56% anak sekolah di dunia terpapar AROL di tempat-tempat umum.

Sementara laporan GYTS 2006 di Indonesia bahkan lebih tinggi lagi, yakni 81% anak sekolah terpapar asap rokok di tempat-tempat umum.
Hasil uji klinik yang melibatkan hampir 5.000 orang dewasa berusia lebih dari 50 tahun menunjukkan, paparan rokok kepada para perokok pasif meningkatkan risiko terserang demensia. Selain itu juga meningkatkan risiko kanker paru, diabetes, penyakit kardiovaskular, stroke, dan kematian pada perokok pasif. Bukan cuma itu. Tim peneliti yang diketuai Prof. David Llewellyn dari Universitas Cambridge juga menemukan, perokok pasif yang bergaul dengan para perokok memperlihatkan hasil tes kognitif yang buruk.

Budaya sungkan
Celakanya, rumah dan kantor adalah dua dari sekian banyak “cerobong asap” bagi para wanita dan anak-anak sebagai perokok pasif. Suami atau anggota keluarga lain yang merokok seenaknya di dalam rumah, maupun rekan kerja yang merokok dalam ruangan selagi bekerja atau rapat, masih kerap dijumpai. Belum lagi menghadapi para perokok yang menunjukkan sikap cuek di angkutan umum. Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 jelas-jelas tertera kalimat yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Termasuk melindungi kesehatan rakyatnya, dalam hal ini perokok pasif.

Sayangnya, menegur perokok bukanlah urusan gampang. Di satu sisi, perokok pasif masih dihinggapi budaya sungkan untuk menegur. Sementara di sisi lain, tak jarang justru si perokok yang ditegurlah yang merasa tersinggung, bersikap cuek, memelototi, atau malah menyalahkan si perokok pasif mengapa berada di dekatnya. Mestinya, yang merokoklah yang harus tahu diri untuk segera mematikan rokoknya atau merokoklah di luar ruangan yang berudara bebas dan sirkulasi udaranya bagus.

Berangkat dari keprihatinan ini, ada baiknya menggalakkan kampanye “budaya malu merokok di tempat umum”. Akan lebih efektif bila kampanye ini digalakkan bersamaan dengan kampanye "jangan takut menegur mereka yang merokok di tempat umum”. Sebagai sosok yang paling banyak terkena imbasnya, sudah seharusnya perokok pasif meminimalisasi efek-efek negatif terhadap kesehatan dirinya yang bukan diakibatkan oleh dirinya sendiri.

Yang bisa Anda lakukan:
* Selalu katakan pada diri sendiri, "Saya berhak mendapatkan udara yang bersih!"
* Jika di kantor belum ada aturan khusus larangan merokok di ruang kerja, jangan takut untuk mengusulkan kepada pimpinan demi kepentingan bersama. Bukankah jika karyawan sehat, perusahaan juga yang diuntungkan?
* Jika ada anggota keluarga yang merokok, buatlah aturan tegas tidak merokok dalam rumah. Mintalah mereka merokok di teras atau taman sehingga asap rokok langsung keluar ke udara bebas.
* Jauh lebih baik membujuk anggota keluarga untuk tidak merokok. Misalnya dengan memberi gambaran seandainya terkena penyakit serius yang membutuhkan biaya pengobatan tidak sedikit. Cara ini cenderung lebih ampuh dibanding menakut-nakuti mereka akan bahaya kematian akibat merokok.
* Tegurlah dengan sopan orang yang merokok di kendaraan umum ataupun di fasilitas umum lainnya. Ini jauh lebih efektif ketimbang menyindirnya dengan berpura-pura batuk atau mengibaskan tangan.
* Jika si perokok marah karena tidak berkenan ditegur, ya sudah, tinggalkan saja. Tetapi bukan berarti kita lantas kapok. Bagaimanapun, kita tetap harus bersikap asertif untuk ikut “mendidik” masyarakat.
* Jika Anda tak punya keberanian untuk menegur si perokok, mintalah bantuan orang lain yang lebih disegani, semisal satpam atau pengelola gedung/ruangan tersebut, untuk menegur si perokok.

Narasumber: Dr. Widyastuti Soerojo, MSc., dari Tobacco Control Support Centre - Ikatan Ahli Kesehatan Masyrakat Indonesia (IAKMI)

Subjektivitas Membaca Puisi

Ini merupakan rangkaian terakhir dari 5 tulisan saya mengenai kesusastraan Indonesia. Untuk hanya sekedar mengingatkan kembali, tulisan yang sebeleumnya yaitu :
1. Subjektivitas—Objektivitas Esai, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/11/subjektivitas%E2%80%94objektivitas-esai/
2. Fenomena Kritik…, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/fenomena-kritik/
3. Mengembangkan Khazanah Sastra, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/
4. Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media, dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/

Puisi pada hakikatnya adalah penciptaan yang lahir dari sebuah perasaan dibarengi dengan gaya pemikiran penulisannya yang kemudian dibalut bersama kreatifitas imajinasi juga metafora. Penyair adalah seorang spesialis. Puisi-puisi yang ditulisnya dibaca atau tidak oleh khalayak umum bukanlah suatu persoalan yang besar. Namun demikian yang lebih terpenting bagi seorang penyair dalam menuliskan buah perasaanya ke dalam bait-bait puisi adalah kepuasan batin, kepuasan yang mungkin akan sulit dinikmati oleh orang biasa yang bukan pecinta puisi. Kepada para penyair janganlah pernah merasa miris terhadap berbagai dinamika yang berkembang saat ini. Memang terkadang pencapaian karya puisi hanya dapat dinikmati dan dihargai secukupnya oleh segelintir kalangan yang paham akan sebuah instuisi puisi. Tak jarang pula menjadi setombak menara gading yang tersingkirkan ke dalam splending isolation. Mari kita berbesar hati saja ibaratnya puncak pohon yang menjulang tinggi, benar akan merasakan sepi sendiri di udara terbuka, yang daun-daunnya harus mampu bertahan menghadapi terpaan, hujatan, angin dan topan.

Merenungi berbagai kecamuk yang merengek dalam belantara jiwa, penulis puisi dituntut untuk dapat mengekspresikan segala instuisi batinnya menggelorakan imajinasinya, menguraikannya ke dalam bait-bait puisi. Puisi diharapkan mampu menerobos formalisme bahasa yang pada gilirannya nanti membuatnya menjadi ekspresi yang personal sekali.

Kata-kata yang dilepaskan dari tautan-tautan resmi khasanah perbahasaan dengan ikatan maksud dan maknanya, sehingga kata-kata yang tertuang pada guratan puisi itu dibebaskan untuk mencari dan menunjukkan maknanya sendiri. Seorang intelektual dalam bidang sastra yang selalu berpikiran clear dan distinct.

Ignas Kleden dalam “Godaan Subyektifitas”, (Horison, Januari 2004, hal-29-30) menggaris bawahi “Kredo”nya Sutardji Calzoum Bachri “Sutardji Calzoum Bachri, memaklumkan pembebasan atau dekolonisasi kata-kata dari penjajahan konsep-konsep. Kata-kata bukanlah para budak yang harus memikul beban pengertian kian kemari, melainkan adalah mahluk merdeka yang dapat dan harus menentukan dirinya sendiri. Penyair bukanlah orang yang memakai kata-kata sebagai alat, melainkan orang yang bergaul akrab dengan kata-kata yang dibiarkannya bergerak bebas. Penyair tidaklah mendiktekan perintah atau instruksi tentang apa yang harus dimaknai oleh sebuah kata, melainkan membantu dan merangsang kata tersebut untuk menemukan maknanya sendiri atau mencopot kembali makna tersebut sekendak hatinya. Kenyataan ini dilukiskan oleh penyair Sutadji Calzoum Bachri dengan cara yang demikian radikal, sehingga penyair tidaklah dianggapnya sebagai pencipta makna kata-kata, tetapi hanya menjadi medium perjumpaan kata-kata dengan maknanya. Mungkin karena paham seperti inilah Sutardji Calzoum Bachri berpendapat bahwa fungsi puisi kurang lebih sama dengan fungsi sebuah mantra dalam komunitas-komunitas tradisonal. Kalau seorang dukun atau seorang perantara menjadi medium bagi kata-kata untuk menemukan kekutannya yang performatif, maka penyair menjadi medium bagi kata-kata untuk menemukan kekuatan ekspresifnya. Keberhasilan mantra diukur berdasarkan efektifitas bahasa, sedangkan keberhasilan puisi diukur berdasarkan simbolisme bahasa”.

Bahasa puisi mengedepankan kebebasan, sebebas tujuan pemaknaannya yang bergelayut kesana kemari, yang menyebabkan pembacanya pun bebas menafsirkan puisi dari sudut manapun yang pembaca sukai dan kehendaki. Seorang penyair seyogyanya memproduksikan makna, makna puitis dalam puisi-puisi yang bisa diimplementasikan dalam wacana umum yang lebih luas, bebas, tak terikat. Menciptakan sebuah puisi tidak bisa didasarkan pada sutu desain, kerangka perencaan, seperti membuat miniatur gedung-gedung pencakar langit, akan tetapi puisi muncul karena proses yang telah matang dalam diri seorang penyair.

Faktor subyektifitas inilah yang paling mempengaruhi kualitas puisi-puisinya. Jika diibaratkan dengan bunga, pupuk, air dan perawatan dari penanamnya selalu diperlukan oleh bunga, agar waktu mekarnya kembang dapat mengahasilkan dan menyebarkan wangi yang semerbak. Kalau ada penulis puisi yang menuliskan puisinya dengan cara dan mencoba mendesain rencana puisinya dengan menggunakan metode tertentu, seperti halnya menulis sebuah karangan ilmiah, pastilah kesannya akan lucu dan ditertawakan para pecinta puisi.

Boleh saja kita menengok, mempelajari, memahami, mengerti, memafhumi beberapa kaidah penulisan karangan sastra, yang mungkin pernah diperoleh di sekolah menengah (SMP/SMU) atau mungkin di perguruan tinggi, melalui mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia atau apapun namanya yang berkaitan dengan sastra. Oleh karena itu mari untuk sejenak saja kita menilik beberapa kaidah penulisan sastra tersebut, seperti tema, diksi, irama, enjabemen, majas, rancang bangun dan sebagainya, ini berlaku untuk penulisan puisi. Atau, tema, alur penokohan, latar, sudut pandang dan sebagainya juga, untuk menulis sebuah cerpen dan novel. Akan tetapi hal tersebut di atas bukan menjadikan suatu keharusan dalam meuliskan puisi dengan menggunakan metode-metode tersebut. Kita bisa saja lepas bebas dari semua kaidah itu, apabila kita sudah mampu mengekspresikan, mengimplementasikan daya kreatif dan imaji kita untuk mencipta dan melahirkan sebuah puisi yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh para pembaca dan pecinta puisi lainnya. Intinya proses kematangan dirilah yang akan banyak mempengaruhi berbobot tidaknya puisi itu.

Banyak sekali penyair yang mengungkapkan dan melakukan pemilihan kata-katanya dengan menghadirkan frase yang memiliki makna yang berlainan dengan makna harfiahnya sendiri. Untuk mendukung pernyataan ini saya gambarkan sebuah contoh, seperti : “Derai rintik bercakap dengan mendung”, ambilllah kata “rintik” dan “bercakap”, jika kata-kata itu diartikan satu-persatu, maka akan segera ditemukan makna kamusnya (leksikal) dan itu adalah kata denotatif. Akan tetapi ketika kata-kata itu menjadi suatu rangkaian kata yang satu, jadilah ia frase konotatif yang maknanya tidak lagi leksikal, namun makna tersebut hanya dapat ditemukan dalam puisi itu sendiri (gramatikal).

Makna gramatikal ini terbentuk karena adanya kiasan, yang mana berfungsi untuk menghadirkan sebanyak mungkin kemungkinan makna dari deretan kata atau ungkapan atau juga sebuah susunan kalimat. Dalam puisi kita akan sering menjumpai metafora dan simile. Metafora merupakan suatu bentuk perungkapan perbandingan yang bersifat implisit, di mana makna yang sebenarnya akan tersembunyi di dalam makna harfiahnya atau hanya tersirat. Sedangkan simile merupakan suatu bentuk perungkapan perbandingan yang bersifat eksplisit, yang mana biasanya penggunaan kata-katanya menggunakan konjungsi (semisal, seperti, sebagai, serupa). Sekedar menyebutkan beberapa contoh penggunaannya, dan hal ini pula seringkali ditandai dengan penggunaan morfem se.

Pada dasarnya kiasan yang baik sangat ditentukan oleh bagaimana seorang penyair membangun bentuk-bentuk perbandingan untuk mencapai efek puitis yang dikehendakinya, seperti mendayagunakan metafor dan simile tersebut di atas.

Kembali pada topik bahasan kita, yaitu mengenai sosok subyektifitas puisi yang menitikberatkan pada peran kejiwaan yang matang pada diri seorang penyair dalam menghamparkan puisinya. Kita akan coba kembali mengutip tulisan Sutadji Calzoum Bachri, “Penyair dan Telornya” (Bentara, Kompas, 2 November 2001, hal-44) yaitu : “Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembebasan dari realitas, karena itu dia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas”.

Maaf mungkin saya hanya sedikit mengulas tentang teori-teori penulisan puisi yang hanya sekedarnya saja itu, karena tidak lain ini merupakan keterbatasan saya dalam memahami teorinya, jika para pembaca memiliki teori atau apapun yang berlebih, bolehlah kiranya berbagi, memberikan sumbangsihnya kepada saya.

Senin, Agustus 10, 2009

Subjektivitas—Objektivitas Esai (Sastra) dengan Karangan Ilmiah

Kembali tulisan ini melanjutkan dari tulisan yang sebelumnya yaitu “Fenomena Kritik” beritanya dapat dilihat di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/fenomena-kritik/ dan “Mengembangkan Khazanah Sastra” infonya dapat baca di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/ juga menyambung dengan “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media” linknya dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/

Fenomena subjek dan objek memang tak akan pernah lepas, dari yang namanya kehidupan manusia, karena sesungguhnya hal tersebut merupakan alamiah saja—sunnatullah—yang dibawa manusia semenjak dahulu kala. Manusia yang lebih dikenal sebagai subjek akan terus melakukan sesuatu, tentang pekerjaan, aktivitasnya, atau profesinya, khususnya menyangkut panorama tulis menulis.

Kita tentunya sering terlibat dalam obrolan dengan orang tua, saudara, teman, atasan atau siapapun dia, baik yang ringan-ringan saja, sedang-sedang saja, sampai kepada yang berat-berat saja (mungkin termasuk di dalamya berat badan juga, hehe…). Obrolan itu tercipta karena adanya sesuatu yang melintasi pikiran, yang sepontan hadirnya, maupun yang sudah terencana, sehingga kita merasa perlu untuk memperbincangkannya.

Begitu pun adanya esai, sering bergulir karena terlintasnya suatu ide, gagasan, opini, yang menjejali benaknya untuk dituliskan dalam media putih, digarapnya dalam beberapa paragraph. Kelahiran esai ini sering kali terjadi secara spontanitas, meski banyak juga yang menyusunnya dengan perencanaan yang matang, namun demikian tidak seketat penulisan sebuah laporan atau karangan ilmiah dalam satu penyusunan sebuah skripsi bagi mahasiswa S-1, karena jenis karangan ini bersifat ilmiah yang metodik.

Dalam kata penutup buku “Horison Esai Indonesia”. Iglas Kleden menyatakan, “Sesorang esai pada dasarnya tidak mengamati objeknya dari suatu jarak dengan sikap yang dingin dan teliti lalu kemudian mencatat sifat-sifat objek tersebut, tetapi justru berjumpa dengan, dan terlibat di dalam objeknya, mengajak objeknya berkata-kata, dan sekaligus memberikan tanggapan terhadap apa yang dikatakan oleh lawan bicara”. Dari penuturan di atas bisa diambil kesimpulan yang mendasar bagi lahirnya sebuah esai yaitu apabila sebuah obrolan merupakan bentuk penuturan lisan, maka esai dapat dikatakan sebagai implementasinya dalam bentuk tulisan.

Sejenak mari kita menengok sejarah muncul dan berkembangnya esai tersebut. Sekitar abad ke-16 di negara Perancis esai mulai ditemukan dan diperkenalkan kepada publik melalui sebentuk tulisan yang sederhana oleh filosof yang sekaligus sastrawan bernama Michael Equem D Montaigne (1533-1592). Sebagai seorang yang terlahir dari kalangan terpelajar, Montaigne berhasil melakukan pencairan dan menuliskan kembali serta menghidupkan warisan seni dan sastra Yunani berikut kesusastraan Romawi. Istilah “esai” sendiri merupakan kata yang diambil dan berasal dari judul dua jilid bukunya yang ditulis semenjak 1571 dan berhasil diterbitkan pada tahun 1850 yang berjudul asli “esais” yang kemudian dalam bahsa Inggris diterjemahkan menjadi “essays”.

Sesuatu Yang Unik
Kandungan makna yang terdapat dalam tulisan-tulisan tersebut mempunyai berbagai gaya pemikiran yang sangat menarik pada zamannya—saya pikir sampai sekarang juga ya... Cara penulisannya, dalam mengemukakan buah pikiran dianggap sesuatu yang unik oleh para kalangan filosof dan sastrawan juga para pembaca pada umumnya saat itu, yang akhirnya kreatifitas pemikiran Montaiigne tersebut berkembang menjdai satu genre atau genus literarum tersendiri. Tulisan-tulisan Montaigne ditanggapi, dipahami dan dianggap sebagi sesuatu yang konsubstantial, karena Montaigne sendiri mengiginkan tulisannya itu, dirinya dan juga hidupnya adalah suatu persoalan yang harus dipersepsikan sebagai perkara yang sama.

Di Indonesia sendiri esai pertama kali dipopulerkan secara menyeluruh oleh HB. Jassin, melalui tinjauan-tinjauan mengenai karya-karya sastra Indonesia dalam buku yang berjudul “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai”, yang kemudian diperluas menjadi empat jilid dan diterbitkan oleh PT. Gramedia 1985. Kita juga perlu mencatat nama Goenawan Mohamad yang berhasil menerapkan dan memperkenalkan bentuk esai yang ditulisnya dalam jurnalisme Indonesia bersama majalah Tempo yang dipimpinnya.

Buah karya Goenawan Mohamad salah satunya adalah “Kesusastraan dan Kekuasaan”, diterbitkan Pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1993. tidak ketinggalan pula Ajip Rosidi, yang pernah bekerja untuk Gunung Agung dengan salah satu judul bukunya “Masalah angkutan dan Priodisasi Sejarah Sastra Indonesia”, diterbitkan Pustaka Jaya, Jakarta. Ajip Rosidi memang dikenal sebagai salah satu sastrawan yang banyak menulis esai-esai tentang sejarah dan genealogi sastra Indonesia.

Esai seringkali dijadikan sebagai media perjumpaan dan persahabatan yang mempertemukan antara penulisnya (subjek) dan objek yang akan, sedang dan bahkan yang sudah ditulisnya. Dalam berbagai media massa, esai merupakan salah satu unsur pokok nilai berbobotnya media cetak tersebut. Hal ini tak dapat sangkal lagi, hampir semua media massa yang berbasis pada media cetak diseluruh penjuru dunia dan Indonesia khususnya, selalu membuat esai dalam setiap kali penerbitannya.

Banyak sekali tafsiran yang menyajikan berbagai pengertian esai, di antaranya yaitu Webster dictionary of the English language tahun 1877, menyebutkan bahwasannya esai merupakan sebuah tulisan, karangan, analisis, atau penafsiran tentang sesuatu. Sementara itu The Oxford English Dictionery volume III yang diterbitkan oxford university press, merumuskan sebagai suatu karangan dengan panjang bebas mengenai suatu permasalahan yang pada awalnya ditunjukkan oleh karangan-karangan pendek. Sedangkan dalam Encyclopediae International Newyork yang diusung Glorier Incorporated mengemukakan esai sebagai pengucapan berbentuk prosa dengan panjang sedang, dan biasanya dengan topik yang terbatas. Hampir sama dengan apa yang dikemukakan dalam Encyclopediae International, dalam Encyclopediae Americana menuliskan esai adalah karangan sastra singkat mengenai topkc yang relatife terbatas.

Di samping tafsiran yang telah disampaikan di atas, yang kesemuanya mengacu pada pengetahuan dan pendapat dari luar negeri, kita sebagai bangsa Indonesia tentunya perlu mencari pengertian esai itu berdasarkan ensiklopedi Indonesia. Pengertian tentang esai dapat kita temui dalam ensiklopedi Indonesia jilid-2 di situ dapat diambil satu pengertian, bahwa : “Esai adalah jenis tulisan prosa yang menguraikan masalah dalam bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan filsafat ; berdasarkan pengamatan, pengupasan, penafsiran fakta yang nyata atau tanggapan yang berlaku dengan mengemukakan gagasan dan wawasan pengarangnya sendiri”.

Dalam esai pengarang melontarkan suatu sudut pandang tertentu, sikap pribadi, membawakan penemuannya sendiri, mendekati bahan subjek dengan sistematika uraian yang teratur yang terang yang dituangkan dalam bahasa Indonesia tahun 1930-an, terutama dalam majalah Pujangga Baroe, kemudian berkembang di zaman sesudah perang.

Secara Formal
Esai pada dasarnya bisa ditulis secara formal, dengan menganut berbagai kaidah penulisannya. Esai juga bisa disajikan dalam bentuk yang tidak formal (non formal) dengan mengabaikan kaidah penulisannya. Penulis esai bisa pula dengan menampilkan berbagai jenis karangan, seperti ; deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi. Namun kita tidak hendak membahas jenis-jenis karangan tersebut, meski banyak pula cara penulisan yang menggunakan jenis karangan argumentasi.

Dengan demikian esai adalah satu bentuk tulisan yang menggabungkan antara sisi subjektivitas dengan sisi-sisi objektivitas. Karena seorang penulis esai biasanya terlibat langsung dengan objek tulisannya tanpa menanggalkan kepribadiannya secara utuh. Itu semua dapat dimaklumi dikarenakan kebanyakan penulis esai berpikir secara lateral yang menerima semua kemungkinan dan pengaruh bermain-main dengan berbagai eksperimen, gagasan, catatan pribadi, atau model percontohan lainnya, yang tak jarang bersifat spekulatif yang provoaktif.

Berbeda dengan kebanyakan penulis esai , metode penulisan karangan ilmiah lebih terikat kepada kaidah-kaidah penulisannya yang sudah baku dan yang mendasari jenis karangannya. Mari kita mengambil contoh untuk sebuah karangan ilmiah yaitu yang biasanya ditandai dengan pengajuan masalah terlebih dahulu yang dilanjutkan dengan penyusunan kerangka teoritis, yang kemudian dilengkapi dengan berbagai hasil penelitiaannya.

Hal inipun masih harus ditambahkan dengan ringkasan dan berbagai kesimpulan atas objek yang ditelitinya dengan menyertakan daftar pustaka sebagai referensinya. Semua itu harus disajikan dengan keobjektivitasan yang murni, yang berarti harus menyimpan dulu sisi-sisi subjektivitasnya sebagai seorang penulis. Karena bukan tidak mungkin apabila dalam melakukan penulisan terhadap hasil penelitian tersebut masih menyertakan segi subjektivitasnya akan menyebabkan keobjektivitasan penelitian tersebut menjadi terganggu.

Jadi pada kesimpulan akhirnya adalah apabila menulis esai, kita bisa menyeimbangkan factor subjektivitas—objektivitasnya, akan tetapi apabila kita hendak menulis karangan ilmiah, maka objektivitas penulis tersebut harus dipandang sebagai sesuatu yang wajib, bila perlu meniadakan unsur personal dan antropomorfisnya.

Noordin M Top Tewas

Setelah terjadi pengepungan yang cukup lama pada Rumah Muzahri yang diduga sebagai tempat tinggal Noordin M Top di dusun Beji, Kedu, Temanggung, akhirnya Polisi dapat menyelesaikan misinya dengan baik. Noordin M top dikabarkan tewas dalam pengepungan tersebut, setelah sebelumnya sempat melakukan perlawan dengan beberapa kali tembakan ke arah Polisi yang mengepung rumah tersebut.

Penggrebekan dan pengepungan ini berlangsung cukup lama, dari kemarin sekitar pukul 17.00 wib, Polisi sebenarnya sudah mengepung tempat tersebut, namun karena diduga Noordin M Top beserta kawanannya mempunyai senjata dan granat aktif, Polisi menggunakan berbagai strategi. Robot termasuk strategi yang digunakan oleh pihak kepolisian Densus 88. Robot tersebut dimaksudkan pula untuk mengetahui posisi dan letak bom yang mungkin disembunyikan oleh Noordin M Top di sekitar rumah tersebut. Robot ini pula dapat memfoto kegiatan yang berlangsung di sekitar rumah tersebut.

Dengan bantuan Robot tersebut Polisi sedikitnya punya gambaran yang lebih ideal untuk mengambil tindakan selanjutnya. sehingga akhirnya sekitar pukul 10.00 wib tadi Polisi dapat menangkap Noordin M Top dalam keadaan tewas.

Semoga dengan tewasnya Noordin M Top seorang warga negara Malaysia yang dikenal sebagai biang terorisme yang sering terjadi di Indonesia ini, dapat menghentikan aksi-aksi terorisme lainnya.

Semoga saja, salam Kompasiana

Jumat, Agustus 07, 2009

Fenomena Kritik Sastra

Kembali saya ingin melanjutkan tulisan saya yang sebelumnya “Mengembangkan Khazanah Sastra” beritanya dapat dilihat di sini http://public.kompasiana.com/2009/08/07/mengembangkan-khazanah-sastra/ tulisan ini pula terangkai dengan postingan sebelumnya juga yaitu “minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidikan dan Media” infonya juga dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/ sengaja dalam beberapa tulisan saya, akhir-akhir ini lebih banyak mengetengahkan sastra, mengingat banyaknya para Seniman dan Sastrawan kita yang mulai satu-persatu mendahului kita semua menghadap yang kuasa. Terakhir ini adalah Mbah Surip yang meninggal pada tanggal 4 Agustus 2009, disusul dua hari kemudian WS Rendra, sang seniman dan sastrawan besar kita. Dunia seni dan sastra Indonesia sangat berkehilangan keduanya, yang sungguh fenomenal dalam dunia seni sastra. Namun demikian saya tidak bermaksud mengulas kedua biografi beliau, mungkin teman-teman Kompasiana yang yang lain saja yang mengulasnya, biarkan saya mengulas bagian kritik sastanya saja. OK?...

Kita sering menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam keseharian yang terus menerus beredar, mengalir, mengucur dan menggelosot begitu renyahnya menghujani sekeliling kita. Mungkin itu adalah sebuah atau bahkan itu sesuatu kegilaan yang disengaja atau juga ruang lingkup yang tak sanggup untuk dipungkiri.

Semua hal ikhwal kejadian yang berlangsung demikian, bisa saja merupakan proses dari sebuah khasanah tuntutan dari para pelaku kehidupan itu sendiri. Ialah sesuatu yang wajar apabila banyak bermunculan pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, gagasan-gagasan atau meluncur begitu saja selentingan-selentingan disertai sindiran-sindiran nyinyir, karena memang untuk menilai sebagian (jika tak bisa secara keseluruhan) problematika dalam tatanan sosial, kita tidak harus memandangnya hanya dari sudut tertentu.

Kebebasan dalam menggugat realita yang ada, tidak bisa dibatasi oleh koneksitas serta pemikiran yang telah terkontaminasi pihak-pihak yang sengaja mempolitisi bagian-bagian koneksi tersebut. Beragam kenyataan tak terkadang (sering) menghampiri sebuah keberadaan sebuah imaji yang pernah kita cetuskan ke permukaan massa, dan tak tanggung-tanggung lagi komentar sedemikian mampu menggairahkan langkah kita untuk terus menapaki karya yang telah kita lemparkan sebelumnya, ini tak terlepas karena gagasan / karya yang pernah terhamparkan memperoleh apresiasi positif dari audien. Akan tetapi hal yang getir pun tidak senantiasa dapat kita elakkan, sekiranya suguhan gagasan / karya kita direspon negative oleh kebanyakan khalayak. Namun demikian apresiasi positif maupun negative pada hakikatnya merupakan media pembelajaran yang sangat efektif untuk terus mengasah sudut pandang kita agar kita lebih berwawasan dan dewasa.

Kini saatnya kita harus kembali berani memiliki keberagaman akan keberadaan karya-karya sastra yang sudah lanjur terjuntai-menjuntai dalam gugusan masyarakat. Tentunya dalam berhadapan dengan masyarakat, tugas karya sastra yaitu untuk mempertanyakan kembali sejumlah peristiwa yang terjadi pada manusia dengan keadaannya sebagai satu kesaksian dari setiap dan pandangan seorang pencetus karya sastra.

Sebuah karya sastra bukanlah kebenaran yang tunggal, pun dalam lingkungan masyarakat yang sebenarnya. Oleh karena itulah karya sastra tidaklah perlu dipaksakan sebagai sumber moral semata, ataupun hakikat dari sebuah mausul kebenaran yang semestinya.

Kiranya mesti dipahami, sebuah karya sastra hanyalah salah satu versi, sebuah sudut pandang terhadap kompleksitas permasalahan di medan hiruk-pikuknya versi-versi yang lain. Setelah kita memafhumi segala bentuk tutur di atas, bisa diperoleh asumsi, bahwa “kebenaran dalam karya sastra merupakan kebenaran yang bersifat sementara”, yang masih mungkin ditandingi oleh versi / cara dan sudut pandang yang lebih kritis, lebih menarik dan juga lebih menantang untuk disikapi lebih bijak lagi.

Kritik, yang bisa saja dituangkan melalui karya sastra, seperti cerpen, prosa, novel, puisi, esai kritik sastra dan apapun bentuknya, tentunya cara-cara itu dijadikan sebagai wahana untuk menggugat apa yang sedang terjadi, berlangsung mengalir di masyarakat. Akan tetapi bukan benar atau salahnya posisi gugatan tersebut yang terpenting, melainkan peranan gugatan itu mampu mewarnai atau tidak sama sekali, dalam mengubah paradigma kehidupan manusia dengan sesegera mungkin. Koreksi dalam karya sastra lebih pada pandangan yang sebagaimana dituliskan pada paragraph sebelumnya, yaitu untuk mempertanyakan kembali hal ikhwal yang dirasakan sudah sedemikian mapannya dalam nuansa kehidupan di masyarakat.

Dengan bentuk lain, kritik sastra merupakan tandingan dalam menyaksikan fenomena yang terjadi dari sudut (bagian kecil) yang mungkin terjadi atau yang semestinya sebaiknya terjadi. Kita pun boleh mendefinisikan bahwasannya karya sastra sebagai suatu alternative penyeimbang atas peristiwa-peristiwa yang begitu lancarnya terjadi di lingkungan sekitar kita, semisal dalam kehidupan sehari-hari.

Kitaran kritik sastra tak terbatas pada satu jenis kritik sastra saja, apabila digolongkan dalam garis besarnya, mungkin ada, kritik akademis dan kritik non akademis. Sebagaimana yang dilontarkan Edward W Said, yang selanjutnya dikutip oleh Sapardi Djoko Damono dalam “Perkembangan Kritik Sastra Indonesia”, menyatakan kritik sastra non akademis mengambil bentuk kritik sastra umum / praktis (practical critism). Berdasarkan teori dan konsep Edwar W Said tersebut, Sapardi Djoko Damono menyimpulkan bahwa kritik akademis termasuk dalam jenis kritik apresiasi dan interpretasi (literary appreciation and interpretation).

Seangkan, masih menurut Sapardi Djoko Damono, kritik sastra Indonesia justru dimulai dari jenis kritik sastra umum. Kritik di majalah pujangga baru pada kisaran tahun 30-an, ulasan-ulasan sastra di Koran-koran peranakan tionghoa, bahkan sebagian besar tulisan HB. Jassin pada dasarnya termasuk dalam jenis kritik umum (non akademis) ini. Begitupun resensi-resensi yang masih terus muncul di Koran-koran, majalah-majalah sampai saat ini hingga termasuk juga termuat di dalamnya tulisan-tulisan Korie Layun Rampan dan Djoko Sumardjo. (Sapardi Djoko Damono, “Politik Ideologi dan Sastra Hibrida”, tahun 1999, Pusaka Firdaus).

Kecarut-marutan dunia kritik sastra Indonesia, bermula dari ter”bonsai”nya (jika tidak mau dikatakan gagal) media pembelajaran sastra dalam institusi pendidikan sastra di perguruan tinggi yang seyogyanya dapat menelurkan guru-guru bahasa dan sastra Indonesia untuk sekolah menengah (SMP/SMA) yang berkompeten dan berwibawa. Lebih lanjut lihat “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Dunia Pendidian dan Media”. Apabila dilihat sepintas keberadaan kritik sastra yang terdapat disejumlah Koran-koran, majalah-majalah, dan media umum lainnya, perbedaan kritik akademis dan non akademis tidaklah begitu gampang (gamblang) mencari batasan-batasannya. Hanya saja mungkin kita bisa melihat batasannya dari tampilan fisik yang ada, sebagaimana terlihat pada penulisan skripsi, thesis, disertasi (yang biasanya jenis kritik akademis ini dibukukan oleh penulisnya sendiri)

Dari perbandingan tersebut di atas, maka bisa ditarik garis perbedaan kritik akademis dengan tulisan-tulisan yang ada di Koran-koran, majalah sastra, media seni budaya. Bahkan jika sudi menelusuri lebih jauh makalah-makalah seminar yang dirangkum para kritikus sastra non akademis, yang menggunakan cara-cara yang sedikit berseberangan dari tata kerja akademis.

Keterangan yang termaktub di atas tentunya belum cukup memadai, karena sebagaimana disitir Aspanti Djoko Sujatno, bahwasanya metode kritik sastra tidaklah harus tersurat (semisal dalam kritik jurnalistik). Namun demikian, mungkin kita akan bersegera merasakan suatu cara dan sudut pandang atau sikap tertentu dari pihak kritikusnya. Dalam kesempatan yang lain Aspanti Djoko Sujatno, memaparkan ragam kritik, dimulai dari kritik panjang yang umumnya terang dalam bentuk buku, kritik sastra oral di radio-radio dan media kabel lainnya, dalam bentuk artikel juga mungkin sebentuk roman drama teater atau surat. Untuk lebih jelasnya baca, Aspanti Djoko Sujatno “Membandingkan Kritik Sastra Perancis dengan Kritik Sastra Indonesia” (Horison, Desember 1998 Hal. 6-10).

Kalau terus membicarakan bahasa mengenai kritik sastra Indonesia, maka takkan segampang membaca sebuah puisi atau karangan sastra lainnya, karena kritik sastra akan terus berkembang, meluas, sesuai dengan kebutuhan jaman, situasi dan kondisinya. Dan diyakini pula hal itu akan melahirkan jenis-jenis kritik sastra lainnya yang lebih mengusung keberanian nurani sastrawan. Mari kita cermati penelitian (disertasi) yang pada akhirnya dibukukan yaitu “Kritik Sastra Indonesia Modern”, karya Rahmat Djoko Pradopo, tahun 2002. Di situ akan diperoleh sebuah bukti terbaru bahwasanya sedikit banyaknya kritik non akademis pun tidak bisa terlepas dari suatu sikap atau teori yang didapat dimengerti yang lalu dipahami oleh kritikusnya sendiri.

Kecenderungan mengkritisi satu karya sastra dari sudut pandang pengarang sebagaimana tersimak di tahun 30-an, bahkan hingga terus berlangsung sampai 60-an pada konsepnya bisa digabungkan dan digolongkan dalam kategori jenis kritik sastra dengan teori dan pendekatan ekspresif. Untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya instuisi dalam membuat, mencipta, mencetuskan, mengimajikan, menggagas, dan apapun itu namanya, menggurat sebuah karya sastra penting bagi kita mencermati karya-karya kesusastraan di masa lampau, mungkin belajar dari sejarahnya, mengupasi teorinya, hingga kita menikmati karya-karya sastra modern sekarang ini.

Sejenak luangkanlah waktu untuk membaca tulisan-tulisan sastrawan dan kritikus Lekra yang memaksimalkan konsep dan teori dengan pendekatan pragmatik, yang telah disiratkan MH. Abrams dalam sebuah bukunya “The Mirror and The Lamp” tahun 1953 (Cornel University).

Karena berbagai permasalahn dalam kompleksitasnya dan yang mencuat atau yang sedang menggejala dalam tatanan kehidupan lingkungan masyarakat bisa diangkat oleh siapa saja, maka cara dan sudut pandang dalam menggarap permasalahan akan menjadi suatu perkara yang penting untuk dijadikan sebagai tolok ukur atau tema di dalam penulisan sebuah karya sastra, sebab hal tersebut pastinnya akan menentukan berhasil tidaknya karya sastra yang dimaksud. Begitu banyaknya atau ragamnya cara dan sudut pandang para sastrawan dalam menanggapi suatu persoalan yang sedang mengemuka di industri sastra dan masyarakat pada umumnya, kita pun perlu berpartisipasi banyak di dalamnya.

Jadi, pada dasarnya permasalahan bebas-bebas saja diintip dari berbagai segi manapun, beberapa mungkin di antaranya dengan cara menertawakan, menyindir, menghiba, atau selebihnya dengan cara mengancam nyinyir seanyir ciuman janji politisi busuk!!!....Bersambung…

Kamis, Agustus 06, 2009

Mari Mengembangkan Khazanah Sastra

Selasa kemarin tanggal 4 Agustus 2009, merupakan hari berkabungnya dunia sesni sastra Indonesia. Ya seorang yang bernama Mbah Surip telah dipanggil kembali menghadap penciptanya. Karya seni dan sastranya begitu fenomenal menginjak di usianya yang senja, kemana-mana ia menjadi bintang tamu, dengan gaya hidupnya yang kurang teratur ditambah jadwal kegiatan yang super padat, kesehatannya mulai terganggu, puncaknya terjadi pada tanggal 4 Agustus 2009 tersebut, Mbah Surip menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah salah seorang sahabatnya Mamih Prakoso.

Sebenarnya tulisan ini berkesinambungan dengan tulisan saya sebelumnya yang sudah diposting di Kompasiana ini yaitu “Minimnya Apresiasi Sastra dalam Duni Pendidikan dan Media”, info lebih lanjut dapat diklik di sini http://public.kompasiana.com/2009/07/13/minimnya-apresiasi-sastra-dalam-dunia-pendidikan-dan-media/ Namun karena kematian Mbah Surip begitu fenomenal, maka tidak ada salahnya saya mengemukakannya terlebih dahulu di atas sebagai wujud keberdukaan saya atas kematian beliau. Dan karya seni juga sastra beliau pantas untuk kita kembangkan bersama.

Dewasa ini, ilmu sastra atau lazimnya kita menyebutnya sebagai kesusastraan Indonesia, mengalami beberapa perkembangan, namun masih kurang dari apa yang kita harapkan. Salah satu ke-tidak optimalan perkembangan ilmu sastra ini, beberapa diantaranya ; Pertama, kurang berhasilnya pihak perguruan tinggi yang menyelenggarakan fakultas bahasa dan sastra Indonesia (pendidikan maupun non pendidikan) dalam mencetak kader guru yang sastrawan yang menuntut lebih dari sekedar seorang guru biasa saja. Kedua, dukungan yang minim dari media massa, baik media kabel ataupun media cetak yang lainnya. Sehingga dari beberapa contoh tersebut di atas, sangat jelas dampaknya bagi dunia pendidikan di sekolah menengah (SMP/SMU), yang mana biasanya dari sinilah awal dimulainya kecintaan seseorang terhadap kesusastraan, melalui menulis puisi, mengarang cerpen atau novel, karangan sastra lainnya, sampai kepada hal membuat sebuah atau beberapa bahkan banyak mengenai esai kritik sastra.

Mungkin sudah waktunyalah kita berpikir, mendiskusikan cara-cara apa saja, sehingga sastra dapat berkembang dengan pesat seperti bidang keilmuan lainnya. Tak salah apabila kita merancang sesuatu kebijakan strategi pemasaran, selayaknya terbiasa orang melakukan kebijakan strategi pemasaran untuk menjajakan produksinya, baik berupa barang maupun jasa.

Hal ini memang acap kali kita pergunakan dalam dunia bisnis dan kepentingan usaha yang lainnya. Dan nampaknya kita sekarang perlu menerapkan teori tersebut dalam usaha memasyarakatkan sastra guna mendapatkan dan menciptakan apresiasi yang positif dari publik terhadap khazanah kesusastraan Indonesia.

Menurut J David L Wheelen, strategi manejemen adalah seperangkat keputusan dan tindakan yang menjadi arah jangka panjang jalannya perusahaan. Pendapat lain mengatakan, yang munculnya dari seseorang yang bernama Fred R David, strategi manajemen merupakan seni dan ilmu membuat keputusan tentang formulasi, implementasi, dan evaluasi yang saling melengkapi yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya.

Saya pikir teori-teori di atas dapat dikembangkan untuk memajukan kehidupan sastra pada umumnya. Sebagai contoh dari definisi di atas kita tarik strategi formulasi. Di strategi ini termasuk di dalamnya juga mengembangkan misi, identifikasi peluang-peluang dan ancaman, kekutan dan kelemahan untuk jangka panjang.

Dalam mempopulerkan sastra tak terlepas di dalamnya juga untuk mengembangkan misi, yang mungkin salah satunya adalah menanamkan kecintaan siswa terhadap sastra, karena baru setelah itu kita berharap akan terlahir suatu karya dan kreatifitas yang dapat membangun dan membanggakan bangsa. Dalam kebijakan pemasaran kita juga akan dikenalkan dengan konsep marketing yang menyatakan bahwa produsen jangan memperhatikan diri sendiri saja, jangan melihat selera sendiri saja. Tapi lihatlah, carilah apa dan bagaimana selera konsumen. Konsep ini lebih menekankan kepada kepuasan konsumen, karena marketing mempunyai tujuan tersendiri yaitu bagaimana usaha untuk memuaskan selera.

Untuk menyelaraskan konsep-konsep pemasaran dengan kehidupan sastra tentunya diperlukan penyesuaian-penyesuaian, hingga mengecilkan benturan-benturan antara keduanya. Karya sastra sebaiknya digarap sesuai dengan perkembangan zamannya, mengikuti selera pasar yang kekinian dengan tidak meninggalkan ciri khasnya sebagai sesuatu yang terlahir dari penciptaan sastra yang murni sebagai karya yang terus berdaya guna dan tak mudah kadaluarsa.

Sebenarnya telah cukup banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh para kalangan sastrawan, untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan sastra. Salah satu perwujudannya adalah yang telah dilakukan para sastrawan dari majalah “Horison” melalui kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya)-nya, yang mendatangi sekolah-sekolah menengah umum (SMU) di setiap penjuru negeri (meski tak semua sekolah favorit di Indonesia mendapatkan kunjungan mereka).

Ini merupakan satu bentuk pemasaran yang tepat untuk menggali minat para siswa kepada kesusastraan Indonesia. Sudah banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut, di antaranya para siswa banyak tertarik membaca karya-karya sastra dan belajar mengimplementasikannya melalui tulisan-tulisan sastranya, melalui bentuk puisi, cerpen, novel, prosa, drama, dsb, yang banyak pula di antaranya kemudian dikirimkan ke majalah “Horison” tersebut dan majalah juga surat kabar lainnya.

Kita perlu menyadari minimnya kurikulum nasional khususnya bidang sastra, baik di perguruan tinggi yang membuka fakultas bahasa dan sastra Indonesia (pendidikan maupun non pendidikan) maupun di sekolah menengah umum (SMU). Kita wajib mengetahui bahwa mata kuliah sastra sekarang baru mencapai 22 sks dan bahasa 41 sks. Bahkan dalam kurikulum nasional sama sekali tidak ada mata kuliah kritik sastra yang tentunya penting jika diadakan untuk mengetahui seluk beluk dan sejauh mana perkembangan kritik atau kajian sastra.

Sedangkan di sekolah menengah (SMP/SMU) nyaris sama keberadaanya dengan perguruan tinggi kita. Dalam kurikulum GBPP 1994 di sekolah menengah umum (SMU) hanya berjumlah 32 butir dari total 168 butir pembelajaran atau hanya berkisar 19%. Dalam kebijakan kurikulum berbasis kompetisi (KBK) pun tidak mengalami perubahan yang signifikan, jika dibandingkan dengan kurikulum GBPP tahun 1994.

Mendapati realitas pendidikan sastra yang riskan tersebut, nampaknya kita tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bersegera menjalankan berbagai kebijakan pemasaran, khususnya menyangkut jasa pendidikan sastra. Pemasaran pendidikan sastra diharapkan dapat mengenal sastra yang tepat, mengakar, dan mendarah daging dalam jiwa siswa-siswa.

Menurut Hermawan Kertajaya, strategi pemasaran adalah “sebuah cara-cara disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan values dari suatu inisiator kepada stake holdersnya”. Misi yang terkandung dari pendapat itu ialah pemasaran akan menjadi jiwa, bukan sekedar salah satu anggota atau bagian saja.

Sebagai sikap yang bijak dalam mengejawantahkan pendapat Hermawan Kertajaya tersebut adalah sebagai sastrawan kita tak perlu sungkan-sungkan lagi untuk menawarkan diri menjadi seorang guru atau dosen di semua institusi sekolah yang berembel-embel badan hukum milik negara (BHMN) atau institusi milik “pengusaha” demi untuk memajukan kehidupan sastra. Sebab maju mundurnya khazanah sastra sangat bergantung pada kepedulian para sastrawan-sastrawannya sendiri. Dengan mendapatkan pengajaran sastra yang secara langsung diberikan oleh para guru atau dosen yang sastrawan, maka besar kemungkinan para siswa atau mahasiswa dapat mengapresiasikan sastra menjadi lebih positif yang dibalut dengan kreatifitas yang berdaya guna dan bermanfaat.

Tentunya hal-hal ini kurang lengkap apabila tidak ditanggapi oleh organisasi-organisasi yang menamakan dirinya sebagai dewan kesenian (DK) dari semua daerah. Tak disangkal kita juga membutuhkan dukungan yang sangat besar dari dewan kesenian ini, sebagai suatu wadah yang menampung berbagai kreatifitas dan mengembangkannya dalam bentuk apresiasi seni sastra di panggung-panggung, dalam forum diskusi, dialog interaktif atau apapun nama kegiatannya.

Sebagai penyempurna dari semua kegiatan kebijakan strategi pemasaran yang telah sedikit diungkap sebelumnya, seperti sastrawan “Horison” mengadakan kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), para sastrawan menawarkan dirinya untuk menjadi seorang guru atau dosen meski persoalannya tak segampang membalikkan telapak tangan, karena sekolah atau perguruan tinggi mana yang sudi merekrut guru atau dosen dari kalangan sastrawan, tapi setidaknya sebagai sastrawan yang sudah cebur lebur dalam jalanan khazanah sastra seyogyanya mampu menunjukkan kapabilitasnya menjadi guru atau dosen yang baik serta berkompeten.

Dewan kesenian yang akif mendukung dan terjun langsung ke masyarakatnya. Liputan dari semua media akan sangat membangun kekokohan sastra ini. Sebagai ungkapa terdalam, selayaknya media masa turut membuka ruang yang lebih luas dan banyak lagi untuk kemaslahatan kesusastraan Indonesia khususnya dan khazanah sastra dunia pada umunya. MUNGKIN…