Senin, Mei 18, 2009

Gelarnya Hilang?...

Setiap tanggal 20 Mei bangsa Indonesia selalu memperingatinya sebagai hari kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional, harusnya kebangkitan nasional tersebut bisa dicerminkan dari bangkitnya pendidikan bangsa kita, dari pendidikan dasar, menengah, perguruan tinggi bahkan sampai pada tingkatan master dan doktornya. Apabila kita berani menengok ke Jepang pada saat seusainya perang dunia II, yang ditandai dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima, salah satu yang pertama kali dibenahi oleh pemerintahan Jepang adalah institusi pendidikannya, karena mereka sadar dari sinilah SDM yang handal dapat diciptakan.

Bagaimana dengan di Indonesia, mari sejenak kita cermati bersama. Setiap siswa yang masih duduk di bangku sekolah menengah umum (SMU), sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah (MA) atau para mahasiswa dengan berbagai disiplin ilmu dalam jurusannya mereka masing-masing, tentunya mengharapkan memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang yang mereka geluti sewaktu dalam pendidikan formalnya. Meski fenomena yang berlangsung saat ini tidaklah harus seseorang melakoni pekerjaannya sama persis dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini mungkin kita semua sudah teramat mafhum bahwasanya keberadaan kesempatan kerja yang sulit didapatkan, sehingga ada ungkapan dari para”sarjana nganggur” yang secara emosional menyatakan setelah lulus kuliah “selamat datang di dunia pengangguran”. Kejadian demikian sebenarnya tidaklah patut dikatakan sebagai sesuatu yang salah, akan tetapi belum juga tepat bila dipaksakan sebagai sesuatu yang benar.

Sebenarnya setiap pembelajaran yang dilalui oleh para mahasiswa selama berada di ruang kuliah maupun di luar kelas yang sifatnya masih berada di lingkungan kampus merupakan suatu komunitas yang menggodok mahasiswa untuk menguasai berbagai disiplin ilmu sampai kepada taraf tertentu yang telah digariskan oleh lembaga perguruan tinggi. Maka ini akan menjadi satu hal yang naïf bilamana seorang mahasiswa jurusan “anu” tidak memahami dan tidak mampu mengejawantahkan ilmu-ilmu “anu”nya.

Sebaiknya ada semacam tes bakat khusus untuk para calon mahasiswa yang akan masuk ke salah sebuah jurusan yang diminatinya, ini dimungkinkan untuk menciptakan generasi mahasiswa unggul, dimana hanya ada mahasiswa-mahasiswa yang berbakat dan punya minat yang tinggi saja yang dapat diterima memasuki satu juusan tersebut. Seperti dimaklumi siswa yang diterima di perguruan tinggi harus terlebih dahulu menyiapkan dirinya untuk bergulat dalam bidang ilmu yang dipilihnya. Semisal dalam jurusan bahasa dan sastra Indonesia (pendidikan maupun non pendidikan), perguruan tinggi atau fakultas yang bersangkutan seharusnya menanyakan dan mempersyaratkan sudah berapa novel, roman, cerpen yang telah dibacanya, terbiasakah ia (calon mahasiswa) menulis cerpen atau hanya sekedar mencipta sebuah puisi, seberapa banyak sastrawan yang sudah dikenalnya (baik yang hanya melalui karya-karyanya saja atau syukur-syukur bertatap wajah langsung dengan para sastrawan tersebut).

Tak berlebihan jikalau diadakan persamaan dalam rangka penerimaan calon mahasiswa baru dengan universitas yang menyelenggarakan atau yang membuka jurusan umum lainnya. Di situ kita dapati para mahasiswa yang hendak masuk fakultas tersebut sebelumnya terlebih dahulu dites sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya pada bidang yang akan digelutinya dalam jurusan tersebut. Dalam kesehariannya, mahasiswa dikondisikan terbiasa bertatap muka langsung dengan para dosen dalam ruang kelas perkuliahan, mendapatkan bimbingan akademik, mengerjakan banyak hal tentang tugas-tugas terstruktur, membuat paper atau menyusun sebuah makalah, bergelut aktif di organisasi kemahasiswaan (bagi yang berminat dan para aktivis), mengikuti berbagai acara seminar dan atau lokakarya serta kegiatan-kegiatan jenis lainnya. Berbagai misalan di atas merupakan di antara bentuk-bentuk penggodokan yang akan menentukan keberhasilan mahasiswa, sehingga dalam forum-forum itulah dari hari ke hari mahasiswa terbiasa menjalani penempaan demi penempaan.

Tentunya bukan hanya itu saja penempaan dan pengukuran tingkat keberhasilan seorang mahasiswa dalam proses belajar, selalu saja setiap fakultas dan jurusan mengadakan ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) untuk mendapatkan gambaran kemampuan mahasiswanya, sekurangnya dua kali dalam satu semester mahasiswa diuji dengan jenis ujian tersebut, selain dari jenis-jenis ujian yang telah dikemukakan di paragraph sebelumnya, puncak dari segala jenis tempaan akademik, sebelum mahasiswa dinyatakan lulus, setiap individu mahasiswa diharuskan menulis/menyusun skripsi berdasarkan obyek penelitian lapangan yang disesuaikan dengan displin ilmunya, mengacu pada teori-teori yang sudah dipelajarinya dalam rutinitas perkuliahan. Pemaparan tersebut di atas sebenarnya hanya secuil gambaran mengenai proses pembelajaran mahasiswa semasa di perguruan tinggi.

Maka tak jauh dari kegiatan kemahasiswaan, seyogyanya para lulusannya yang secara “de facto” dan “de jure” pernah mengalami suatu proses pembelajaran yang mungkin cukup melelahkan tersebut, seharusnya mudah saja membuat sebuah tulisan populer di surat kabar atau koran, melakukan kajian umum di majalah sampai kepada studi yang lebih serius dalam jurnal, sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajarinya, karena semua jenis karangan ini derajatnya pasti di bawah dan tidak sesulit skripsi (S-1), thesis (S-2) dan disertasi bagi para calon doktor (atau jangan-jangan skripsi, thesis, disertasinya hanya copy paste?...wah kalau yang terjadi seperti itu gawatlah bangsa ini), yang pasti masih jarang kita dapati apresiasi populer dari para sarjana, master, doctor, yang merepresentasikan bidangnya saat berkuliah tersebut.

Dan yang muncul kini adalah sekelumit kekhawatiran yang menggelembung—mungkin hampir pecah—seperti adanya semacam ketimpangan antara yang seharusnya dan fenomena yang terjadi. Kekhawatiran itu adalah jangan-jangan skripsi, thesis, disertasi, memang benar-benar puncak akhir karya tulis dan apresiasi dari seorang sarjana, master, doctor, hingga karenanya ia tak harus susah-susah lagi untuk membuat semacam penelitian, kajian, kritik, esai atau apapun disebutnya, yang padahal tingkat kesulitannya jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan proses penulisan skripsi, thesis, disertasi, yang penting sudah dapat pekerjaan, mungkin. Lalu kemanakah gelar sarjana, master, doktor yang mereka miliki?...mungkinkah hilang tanpa apresiasi?...

Mari bertanya kenapa???....
Peace ajah…

Tidak ada komentar: