Senin, Juni 01, 2009

Membaca, Pemikiran Manusia

Tulisan ini saya sajikan untuk memenuhi janji saya pada Bung Ichwan Kalimasada ketika mengomentari tulisannya yang telah diterbitkan di Kompasiana tentang “Kecerdasan” http://public.kompasiana.com/2009/05/26/kecerdasan/. Maaf kalau tulisan ini masih jauh dari harapan.

Kita pastinya ingat betul, wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, adalah lima ayat dari surat Al-‘Alaq yang mengandung perintah kepada manusia untuk membaca. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya membaca merupakan jendela untuk mencapai pengetahuan dan membuka berbagai dimensi keilmuan di dunia. Kegiatan membaca merupakan salah satu tabir pertama yang harus sanggup kita buka untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan lainnya.

Di Indonesia, kita mengenal Ki Hajar Dewatara sebagai pelopor pendidikan dan sebagai penghormatan terhadap beliau, hari kelahirannya diperingati sebagai hari pendidikan nasional, sehingga setiap tahunnya pada bulai Mei kita akan selalu mendapati berbagai acara yang berkenaan dengan hari pendidikan nasional tersebut.

Kita tentunya mafhum dimana salah satu kunci dasar pemegang ilmu pengetahuan adalah dengan banyak membaca berbagai jenis disiplin ilmu yang tak lain kita bisa memperolehnya dari buku. Buku merupakan jendela pengetahuan. Dengan membaca buku berarti kita sedang meneropong sebuah suasan lain di luar lingkungan dirinya. Banyak hal yang didapat ketika sedang membaca buku, dari mulai betambahnya wawasan dan pengetahuan hingga sekedar pengisi waktu luang, hiburan atau penghantar tidur.

Buku bacaan banyak tersedia mulai dari buku yang memiliki bobot ringan hingga berbobot rumit untuk dicerna dan dipahami pembacanya. Hasil membaca sangat relative, bergantung pola pemikiran dan niat pembacanya. Dengan membaca juga bias membantu membentuk kerangka berpikir—sence of reference—hingga tidak hanya sekedar penghibur suasana hati. Nilai positif dari membaca lebih banyak ketimbang nilai negative atau tidak membaca buku sama sekali.

Sementara itu, kualitas manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuan berpikirnya, sedangkan kualitas berpikir sangat ditentukan oleh kelengkapan informasi. Informasi memang bisa diperoleh di mana dan dari mana saja, akan tetapi tidak dapat dipungkiri buku dan media yang berbahasa tulis lainnya merupakan gudang informasi yang “tidak tertandingi” media lain. Di sinilah membaca menunjukkan peran pentingnya sebagai sumber informasi utama.

Membaca bisa membawa kita menjelajah waktu, menerobos masa lalu dan menerawang masa yang akan datang. Dengan membaca kita juga bisa mengetahui apa yang terjadi di zaman yang telah lewat, kita bisa mengetahui apa yang dikatakan para tokoh dunia seribu tahun yang lalu, para filosof, sastrawan, budayawan, ilmuwan dan sebagainya. Dengan banyak membaca kita mampu membuat prediksi masa depan, dan menciptakan ide-ide segar yang dapat membangun bangsa.

Membaca juga sebagai alat yang praktis untuk mempermudah mneyelesaikan banyak urusan dari berbagai fenomena yang ada. Semakin tinggi kemampuan membaca seseorang akan semakin mudah ia menyelesaikan urusan-urusannya. Hal iti karena semakin cepat dan banyak informasi yang terkumpul di dalam otaknya. Sehingga masalah yang ada dapat diselesaikan dari berbagai segi dan sudut pandang yang lebih terbuka.

Membaca telah dianggap sebagai kebutuhan primer di beberapa negara maju. Mereka menganggap membaca sebagai sesuatu yang sangat diperlukan otak untuk berpikir, sama halnya dengan olahraga bagi kesehatan tubuh. Diharapakan di Indonesia pun sebagai negara yang sedang berkembang mempunyai pola pemikiran yang sama dengan negara-negara yang lebih dulu maju. Tumpuan ini menjadi tanggung kita bersama dalam meregenerasi anak-cucu kita sekarang dan kelak.



Kualitas membaca
Seorang cendikiawan/akedemisi, Prof. Ahmad Slamet menemukan di kalangan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi, rata-rata kecepatan mereka 200 kata permenit. Bandingkan dengan kecepatan membaca orang Amerika yang 1.000 kata permenit di kalangan mahasiswa dan kaum cerdik cendikianya.

Walau memang belum ada penelitian yang tuntas, menurut para ahli kebiasaan membaca sangat erat kaitannya dengan kecepatan membaca. Hal ini bisa menjadi tolok ukur kualitas kebiaasaan membaca sebuah masyarakat. Bagaimana dengan kualitas baca masyarakat kita? Dapat dibayangkan dari kaum terpelajarnya saja sangat minim apalagi masyarakat secara keseluruhan.

Secara kuantitas daya serap masyarakat terhadap buku sesungguhnya sangat tinggi dan potensial. Untuk tingkat pelajar pada level terendah misalnya taman kanak-kanak dan sekolah dasar saja, di sana terdapat jutaan siswa yang setiap tahun dapat menyerap buku cetak (kurikulum) tertinggi dari seluruh jenis buku bacaan yang ada di Indonesia. Pasar buku bacaan seperti ini masih menduduki peringakt tertinggi dari seluruh buku yang beredar, begitu yang dikatakan Bambang Trim—seorang penulis buku “Menggagas Buku”.

Indikasi
Ada beberapa indikasi belum tercapainya kualitas membaca masyarakat kita. Pertama, kebiasaan membaca belum sampai menyentuh hakikat membaca itu sendiri. Kebiasaan membaca yang menekankan pada “seni membaca” atau “rutinitas” telah menjadi tradisi masyarakat dan bahkan dilombakan, misalnya MTQ atau sejenisnya. Kedua, ketidakseimbangan atau ketidakmerataan jenis bacaan yang beredar antara jenis hiburan, pengetahuan dan sebagainya, menumpuk pada satu jenis tertentu. Atau cenderung bacaan berkembang mengikuti trend yang kadang tidak memilki nilai pendidikan untuk masyarakat.

Ketidakseimbangan ini pun dapat terjadi akibat prediksi penerbit yang kurang tepat dalam melemparkan gagasan buku sehingga dinilai kurang populer, sebagaimana diungkapkan Rusdy Hamka—seorang pemerhati perbukuan di Indonesia—atau bisa juga akibat mengedepankan nilai komersialitas daripada idealisme bacaan. Ketiga, daya serap masyarakat terhadap media bacaan yang dikonsumsi lebih banyak bernilai hiburan.

Lebih lagi “media tulis” selain buku atau bahkan buku itu sendiri sering menyajikan hal yang sensasional, bertujuan membentuk opini public atau cenderung “provokatif”, daripada penyuguhan idealisme bacaan itu sendiri.

Beberapa indikator tersebut sangat rumit untuk dituntaskan dalam waktu yang cepat. Rasanya kondisi itu telah mengakar pada masyarakat pembaca di Indonesia. Penanganan hal tersebut perlu perhatian serius dari semua pihak. Termasuk ada kemauan keras—goodwill—dari para pengambil keputusan atas masalah ini. Kerjasama yang baik antara penerbit, distributor/supplier, toko buku dan masyarakat pembaca sendiri yang harus dilakukan secara konkret dan berkesinambungan.

Memulai sesuatu yang baru dan benar memang sulit, tetapi tidak ada kata terlambat untuk membangun kepedulian dalam penyajian bacaan yang bermutu daripada tidak sama sekali dan berkutat terus menerus menghukumi keadaan. Beberapa toko buku baik yang berskala besar hingga pedagang lapak buku terlihat sudah melakukan perubahan mendasar, seperti menu bacaan yang dipajang, kualitas dan kuantitas menu yang diperbanyak dan beragam dan tentunya baik dan benar. Persoalan selanjutnya akan kembali pada masyarakat baca itu sendiri.

Jenis bacaan
Penting kiranya masyarakat pembaca mengetahui kategori bacaan yang berkembang di masyarakat. Bambang Trim mengemukakan bahwa terdapat 14 kategori buku yang biasa dikonsumsi masyarakat, sebagian diuraikan berikut :

Buku anak-anak (children’s book). Jenis bacaan ini termasuk salah satu yang diminati. Nilai pasarnya mencapai tujuh triliun rupiah. Angka yang fantastis! Peminat buku ini biasanya berusia antara tiga hingga tujuh belas tahun. Jenis bukunya beragam dari bacaan bergambar tanpa kata—wordless picture book—hingga cerita petualangan dan humor serta cerita-cerita legenda dri suatu daerah atau negara.

Buku agama (religius book). Akhir-akhir ini bacaan agama menjadi pilihan utama saat berkunjung ke outlet-outlet buku di Indonesia, sejalan meningkatnya penjualan buku jenis ini di seluruh pasaran buku di Indonesia. Sehingga banyak pula pengusaha islam yang membuka toko buku, yang khusus menjual buku-buku agama. Seiring dengan arus informasi yang mengalir deras dari luar negeri merambah dunia bacaan negara kita, penulis dari luar nampaknya lebih disukai dari pada penulis lokal. Sekali lagi mutu tulisan dan nama penulis tidak hanya menjadi pertimbangan, juga penerbit dalam pemilihan buku untuk dibaca. Pasar bacaan agama menduduki kedua setelah buku pelajaran sekolah (kurikulum). Pembaca sangat familiar dengan penulis buku-buku agama seperti : DR. Yusuf Al-Qardawi, Syek bin Baz, DR. Husein Haikal Said Hawa, As-Syahid Said Qutub dan adiknya DR. Muhammad Qutub, dsb. Untuk level nasional kita mengenal nama-nama Toto Tasmara, Ir. KH. Abdullah Gymnastiar—Aa Gym, Nurcholis Majid—alm, Quraish Shihab, Fauzil Adhim, KH. Mustofa Bisri, dsb.

Buku kiat (how to book). Orang yang penuh dengan kreatifitas lebih sering membaca buku jenis ini. Misalnya orang yang ingin tahu cara memperbaiki computer, mobil, motor atau apapun akan mencari jenis bacaan ini.

Buku pengembangan diri (self-improvement). Jenis bacaan yang menawarkan ide-ide perbaikan diri supaya hidup lebih baik dan berkualitas. Pembaca akan mengenal nama penulis yang produktif menawarkan ide-idenya, seperti Daniel Goleman, Stephen R Covey, Bobby De Porter. Untuk penulis lokal kita kenal nama Ary Ginanjar (dengan buku best sellernya : ESQ & Power ESQ), Andrian Harefa, La Rose, dsb.

Buku hobi (hobby book). Jenis buku ini termasuk yang cukup banyak dibaca, melingkupi buku olahraga, permainan, musik, memasak, dsb.

Buku biografi dan auto biografi (biographies & auto biographies book). Biasanya seseorang yang tertarik dengan perjalanan hidup sang tokohnya, ia akan mencari buku jenis ini. Baik yang ditulis orang lain (biografi) atau pengarang menulis kisah dirinya sendiri (auto biografi).

Buku teks (text book). Pembaca jenis buku ini sangat tinggi di Indonesia, jutaan pelajar akan memilikinya sebagai pemenuhan kebutuhan proses belajar mengajar di sekolah sebagai referensi tambahan atas buku-buku yang sudah ada.

Buku referensi (reference books). Kamus ensiklopedi, buku pintar termasuk dalam jenis ini.

Akhirnya efektif atau tidaknya membaca buku sangat dipengaruhi oleh seberapa besar sikap, pemahaman dan pendalaman atas materi yang terkandung di dalamnya. Rasanya tidak berlebihan ketika Mizan mencantumkan dalam logonya “Buku adalaha setetes ilmu”. Dengan demikian membaca buku berarti pula memperkaya khazanah ilmu.

Selamat membaca dan memperkaya khazanah pemikiran. Peace ajah…

Tidak ada komentar: